Sumenep, Kompasone.com - Isu mengenai praktik penangkapan ikan yang merusak lingkungan, khususnya penggunaan kapal centrang dan pukat dogol katrol, kembali mencuat sebagai ancaman serius terhadap kelestarian ekosistem laut dan keberlangsungan mata pencaharian nelayan tradisional di perairan Sumenep.
Kelompok nelayan lokal menyuarakan kegelisahan mendalam atas minimnya pengawasan, mendesak otoritas terkait untuk segera mengaktifkan kembali patroli laut guna menjamin penegakan hukum maritim secara ketat.
Kapal centrang, yang menggunakan jaring terlarang, dinilai secara sistematis menyebabkan kerusakan parah pada habitat laut. Selain dampak ekologis, keberadaan kapal-kapal ini menjadi kompetitor tidak sehat bagi nelayan yang berkomitmen pada metode penangkapan ikan yang tradisional, aman, dan ramah lingkungan.
Keterbatasan kapasitas mesin dan kendala akses terhadap bahan bakar bersubsidi yang semakin langka dan mahal turut memperkeruh kondisi ekonomi nelayan tradisional. Dalam situasi ini, invasi kapal centrang yang beroperasi secara bebas tanpa hambatan dianggap sebagai pukulan telak.
Seorang nelayan lokal, Bapak Buarwi, menyampaikan pengamatannya dengan nada prihatin. "Saya hampir setiap hari melihat kapal centrang yang berkeliaran bebas tanpa ada pengawasan yang ketat," ungkapnya.
Beliau mengenang masa-masa lampau ketika kapal-kapal pukat tidak berani beraktivitas di perairan Sumenep. "Dulu, penjagaan rutin berpatroli ke tempat-tempat nelayan. Mereka selalu memberikan wejangan untuk waspada terhadap kapal asing atau kapal luar daerah," tambahnya.
Buarwi juga membagikan cerita kelam mengenai modus operandi kriminalitas di laut, di mana kapal asing berpura-pura mengalami kerusakan untuk mendekat, lalu mengancam nelayan dengan senjata rakitan untuk merampas perbekalan dan bahan bakar.
"Tapi sekarang, saya tidak lagi melihat kapal patroli itu sejak beberapa bulan yang lalu, yang ada kapal-kapal centrang yang bebas keluar masuk kawasan kami," tutupnya, menggambarkan kontras situasi pengamanan laut yang drastis.
Situasi ini memicu kerinduan masyarakat akan kehadiran aparat keamanan laut yang berwibawa. Sadrumo (bukan nama sebenarnya), seorang warga yang sering berinteraksi dengan petugas Polisi Perairan (Polair), menyampaikan anekdot ringan yang bernuansa ironis.
Ia memuji dedikasi Polisi Laut yang selalu fokus "mencari dan menangkap penjahat di laut," mengkontraskannya dengan tugas Angkatan Laut. Namun, Sadrumo mengaku jarang melihat patroli dalam beberapa pekan terakhir dan menyampaikan kekhawatiran tentang maraknya aktivitas pengeboman ikan, centrang, serta penjualan ilegal penyu yang semakin merajalela.
Masyarakat yang peduli terhadap kelestarian ekosistem laut sangat berharap agar patroli segera beroperasi kembali. Mereka merindukan sosok-sosok gagah dan pemberani yang datang mengarungi samudra untuk melindungi kedaulatan dan sumber daya laut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Satuan Polisi Perairan (Kasat Polairud) Polres Sumenep, Bapak Rofik, memberikan klarifikasi mengenai jeda operasional patroli. Dalam pesan singkat pada 11 Desember 2025, beliau menjelaskan, "Kapal BKO mengalami kebocoran dalam proses perbaikan," sembari meminta agar media menghubungi stafnya untuk informasi lebih lanjut.
Selanjutnya, Aipda Sukolik dari Polairud Polda Jatim mengkonfirmasi status kapal patroli. "Untuk sementara kapal kami kan masih posisi Harwat (pemeliharaan dan perawatan)," jelasnya. Namun, ia menegaskan komitmen untuk kembali bertugas setelah proses pemeliharaan selesai. "Kita akan melaksanakan penegakan itu Mas setelah Harwat, saya akan melanjutkan tugas yang sama seperti dengan sebelumnya," tutup Aipda Sukolik, menjanjikan kelanjutan upaya penegakan hukum di perairan Sumenep.
Perbaikan kapal patroli yang bocor menjadi titik kunci. Masyarakat menanti realisasi komitmen aparat untuk kembali ke laut, memulihkan marwah pengawasan, dan menghentikan degradasi ekosistem serta intimidasi terhadap nelayan tradisional. Revitalisasi pengawasan maritim adalah keniscayaan demi menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan menegakkan keadilan di lautan Nusantara.
(R. M Hendra)
