Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Pain of Paying: Perbedaan Persepsi Nilai Uang pada Pembayaran Tunai dan Non-Tunai di Indonesia

Sabtu, Desember 06, 2025, 16:11 WIB Last Updated 2025-12-06T09:11:24Z
Fajar Santoso

Perkembangan teknologi finansial di Indonesia telah mengubah cara masyarakat bertransaksi. Munculnya dompet digital (e-wallet) seperti GoPay, OVO, DANA, dan ShopeePay, serta kemudahan pembayaran melalui QRIS, telah mendorong pergeseran perilaku konsumsi. Fenomena ini menghadirkan dilema: mengapa seseorang cenderung merasa lebih “berat” mengeluarkan uang tunai dibandingkan membayar secara digital?

Fenomena ini dapat dijelaskan oleh konsep Pain of Paying, yang diperkenalkan oleh Prelec & Loewenstein (1998). Konsep ini menjelaskan bahwa pembayaran dengan uang tunai menciptakan rasa kehilangan yang nyata secara psikologis, sedangkan pembayaran digital mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa tersebut. Akibatnya, individu lebih mudah mengeluarkan uang ketika transaksi dilakukan secara non-tunai.

Masalah ini relevan di Indonesia karena tingkat adopsi e-wallet terus meningkat. Laporan Bank Indonesia (2024) menunjukkan transaksi uang elektronik mencapai Rp 495,7 triliun, naik 12,3% dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan ini mengindikasikan adanya perubahan perilaku yang signifikan, namun juga menimbulkan risiko konsumtif yang lebih tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara ilmiah perbedaan persepsi nilai uang dan pengaruh Pain of Paying pada metode pembayaran tunai dan non-tunai, serta memberikan rekomendasi strategi pengendalian konsumsi.


Pain of Paying

Prelec & Loewenstein (1998) mengemukakan bahwa proses membayar dapat menimbulkan “rasa sakit” psikologis. Pembayaran tunai memunculkan visualisasi nyata kehilangan uang, sedangkan pembayaran digital mengurangi friksi emosional. Hal ini berimplikasi pada perilaku konsumsi yang lebih impulsif.


Pembayaran Tunai vs Non-Tunai

Studi oleh Shah et al. (2016) menemukan bahwa konsumen yang membayar dengan uang tunai cenderung lebih berhati-hati dalam berbelanja. Sementara itu, pembayaran digital meningkatkan frekuensi transaksi dan jumlah pengeluaran, karena rendahnya hambatan psikologis.


Teknologi Finansial dan Perubahan Perilaku Konsumen di Indonesia

Menurut laporan OJK (2023), penetrasi e-wallet di Indonesia mencapai 84% pada kalangan pengguna internet. Kemudahan penggunaan, cashback, dan promosi telah mendorong pergeseran preferensi pembayaran. Namun, kemudahan ini seringkali menurunkan kontrol diri dalam pengeluaran (Pradana, 2022).


Strategi Pengendalian Konsumsi

Beberapa penelitian (Raghubir & Srivastava, 2008) menyarankan penciptaan hambatan atau friction dalam proses pembayaran untuk mengembalikan kesadaran nilai uang. Misalnya, dengan memilih metode transfer manual atau mengambil uang tunai sebelum belanja.


Daftar Pustaka

Bank Indonesia. (2024). Statistik Sistem Pembayaran Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.

OJK. (2023). Laporan Tahunan Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta: OJK.

Prelec, D., & Loewenstein, G. (1998). The Red and the Black: Mental Accounting of Savings and Debt. Marketing Science, 17(1), 4–28.

Pradana, Y. (2022). Pengaruh Kemudahan E-Wallet terhadap Perilaku Konsumtif Generasi Z di Indonesia. Jurnal Ekonomi Digital, 5(2), 45–57.

Raghubir, P., & Srivastava, J. (2008). Monopoly Money: The Effect of Payment Coupling and Form on Spending Behavior. Journal of Experimental Psychology: Applied, 14(3), 213–225.

Shah, A. K., Eisenkraft, N., Bettman, J. R., & Chartrand, T. L. (2016). "Paper or Plastic?": How We Pay Influences Post-Transaction Connection. Journal of Consumer Research, 42(5), 688–708.


Penulis : Fajar Santoso

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta


Iklan

iklan