Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Majelis Ta’lim yang Diseret ke Panggung Politik, Kritik atas Dinamika Kekuasaan di Kota Cirebon

Minggu, Desember 07, 2025, 18:32 WIB Last Updated 2025-12-07T11:32:21Z


Dalam beberapa bulan terakhir, dinamika politik di Pemerintah daerah kota cirebon kembali menjadi sorotan publik. 


Bukan hanya karena isu ketidakharmonisan antara Wali Kota dan wakil wali kota yang semakin nyata, namun juga karena munculnya praktik-praktik politisasi ruang keagamaan, khususnya majelis ta’lim kaum ibu, yang dinilai sebagai upaya memperluas pengaruh politik sekaligus mempertahankan kekuasaan. 


Fenomena ini bukan hanya menimbulkan keprihatinan, tetapi juga menjadi bukti bahwa politik elektoral masih menjadi orientasi utama sebagian elit daerah, bahkan ketika masa jabatan mendekati akhir.


Majelis ta’lim: ruang spiritual yang dipolitisasi

Majelis ta’lim (Al-Hidayah) ibu-ibu telah lama menjadi ruang pembinaan keagamaan, penguatan spiritual, dan aktivitas sosial yang sangat penting di masyarakat. 


Di kota cirebon, kelompok-kelompok ini memiliki jaringan yang luas dan solid—sebuah potensi sosial yang besar. 


Namun, potensi ini justru dimanfaatkan secara tidak proporsional oleh sebagian pejabat daerah.


Dalam sejumlah kegiatan, majelis ta’lim tidak lagi berdiri sebagai ruang yang steril dari kepentingan politik. 


Kehadiran pejabat tertentu yang berkala, pesan-pesan politis terselubung, hingga penyampaian program pemerintah yang dipoles sedemikian rupa untuk menciptakan citra positif—semua ini menjadi tanda bahwa ruang keagamaan telah diintervensi oleh strategi kekuasaan. 


Bahkan, ada laporan bahwa beberapa kegiatan majelis ta’lim disertai pembagian bantuan yang dikemas sebagai “bentuk perhatian pemerintah”, padahal memiliki bayangan kepentingan elektoral jangka panjang.


Pemanfaatan majelis ta’lim sebagai mesin politik jelas memunculkan problem etika. 


Pertama, karena memanfaatkan kerentanan emosional jamaah ibu-ibu yang cenderung memiliki hubungan sosial dan spiritual yang kuat dengan para pengisi majelis. 


Kedua, karena menjadikan kegiatan keagamaan sebagai alat legitimasi politik—sebuah praktik yang tidak sehat dan bertentangan dengan semangat netralitas ruang ibadah.


Kepentingan Kekuasaan yang menjadi prioritas di balik praktik politisasi majelis ta’lim, banyak pihak menilai bahwa langkah ini merupakan upaya mempertahankan jabatan dan memperkuat basis dukungan menuju kontestasi politik berikutnya. 


Di tengah menurunnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap pejabat tertentu, membangun kedekatan dengan komunitas ibu-ibu dianggap sebagai langkah efektif. 


Majelis ta’lim dipilih karena jaringannya massif, pertemuannya rutin, dan pengaruhnya kuat dalam membentuk opini keluarga.


Penggunaan pendekatan-pendekatan semacam ini menunjukkan bahwa stabilitas kekuasaan lebih diutamakan daripada etika pemerintahan. Alih-alih fokus pada peningkatan layanan publik atau penyelesaian persoalan strategis daerah—seperti kemacetan, banjir, ketimpangan kota–pinggiran, dan pelayanan birokrasi—energi justru tersedot pada kegiatan yang lebih bersifat simbolik dan politis.


Retaknya hubungan wali kota dan wakil wali kota di tengah situasi tersebut, isu ketidakharmonisan antara wali kota dan wakil wali kota semakin terasa. 


Kedua figur yang seharusnya tampil kompak dalam memimpin daerah justru terlihat berjalan dengan agenda yang tidak sinkron. 


Banyak pengamat lokal menilai bahwa perebutan pengaruh politik di basis-basis massa—termasuk majelis ta’lim—menjadi salah satu pemicu renggangnya hubungan tersebut.


Wakil wali kota dikabarkan tidak selalu dilibatkan dalam sejumlah kegiatan strategis, termasuk kunjungan-kunjungan kepada komunitas ibu-ibu. 


Hal ini menciptakan kesan bahwa sebagian kegiatan tersebut merupakan “panggung tunggal” bagi pejabat tertentu. 


Ketidakharmonisanpun tampak di berbagai acara pemerintahan ketika keduanya hadir dengan ekspresi dan interaksi yang minim.


Publik menangkap adanya kesenjangan komunikasi yang serius.


Jika disharmoni ini dibiarkan, dampaknya tidak hanya pada stabilitas politik internal pemerintah daerah, tetapi juga pada efektivitas pelayanan publik. 


Sebab, pemerintahan yang terpecah akan cenderung tidak fokus dalam merumuskan kebijakan, saling melemahkan, dan membiarkan ego politik mendominasi keputusan publik.


Dampak sosial dan demokratis

Politisasi majelis ta’lim bukan sekadar persoalan etika politik, tetapi juga menyangkut kualitas demokrasi lokal. 


Ketika kelompok keagamaan dijadikan alat, maka masyarakat kehilangan ruang netral yang seharusnya menjadi tempat refleksi dan pembinaan moral. 


Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi teladan justru mengaburkan batas antara kepentingan publik dan kepentingan kekuasaan.


Lebih jauh, praktik semacam ini dapat memicu polarisasi internal masyarakat. 


Majelis yang semestinya menyatukan dapat berubah menjadi wadah yang sarat kepentingan.


 Jamaah yang menolak politisasi bisa merasa terpinggirkan, sementara yang menerima dapat menjadi tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah. 


Dampak ini sangat mungkin menimbulkan ketegangan horizontal yang sebenarnya tidak perlu.


Seruan untuk mengembalikan etika politik dan Keberpihakan pada Publik

Pemerintah daerah, termasuk wali kota dan wakil wali kota, harus segera menyudahi praktik-praktik politisasi ruang keagamaan. 


Majelis ta’lim harus kembali menjadi ruang suci yang bebas dari intervensi kekuasaan. 


Para pemimpin daerah perlu menyadari bahwa legitimasi politik yang dibangun melalui simbol agama bersifat rapuh, dan pada akhirnya hanya menimbulkan persoalan baru di masyarakat.


Selain itu, pembenahan hubungan antara wali kota dan wakil wali kota merupakan langkah krusial. 


Keduanya dipilih oleh publik untuk bekerja bersama, bukan bersaing memperebutkan pengaruh. 


Perbedaan pandangan politik memang wajar, tetapi penyelenggaraan pemerintahan tidak boleh dikorbankan.


Harmonisasi dan komunikasi yang sehat harus menjadi prioritas demi keberlangsungan pembangunan Kota Cirebon.


Penutup

Kota cirebon memiliki potensi sosial, budaya, dan religius yang luar biasa.


Sayangnya, potensi ini tidak akan berkembang optimal jika ruang-ruang keagamaan justru dijadikan instrumen politik praktis. Kritik ini bukan semata-mata untuk menjatuhkan, tetapi sebagai pengingat bahwa etika politik dan integritas pemimpin adalah fondasi penting dalam pemerintahan yang sehat.


Sudah saatnya pemerintah daerah kembali pada orientasi utama: melayani masyarakat, bukan memanfaatkan mereka sebagai alat kekuasaan.


Kota Cirebon, 7 desember 2025

Penulis : Tohir Akmal

Iklan

iklan