Sumenep, Kompasone.com – Gelombang kemarahan tak terbendung melanda jagat pers di Sumenep. Kangean Energy Indonesia (KEI), melalui rilis persnya yang menuding media lokal sebagai "provokator" di balik penolakan warga terhadap aktivitas eksplorasi migas, telah menyulut bara api.
Ratusan jurnalis dari berbagai platform media di Sumenep kini menyatakan siap berperang demi menjaga marwah profesi yang telah dilecehkan. Tuduhan tak berdasar ini juga menyeret nama SKK Migas, yang dinilai harus bertanggung jawab atas manuver komunikasi KEI yang gegabah.
Publik bertanya-tanya, siapa sebenarnya Kangean Energy Indonesia (KEI) ini hingga berani mengeluarkan rilis resmi yang secara terang-terangan menghasut dan melecehkan profesi jurnalis? Rilis tersebut tidak hanya memicu protes keras dari 10 organisasi wartawan di Sumenep, namun kini telah mempersatukan insan pers dalam satu suara: perlawanan.
Rusydiyono, Ketua DPC Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Sumenep, menegaskan bahwa SKK Migas juga harus bertanggung jawab atas polemik ini. "Kami bekerja untuk masyarakat, bukan untuk perusahaan atau penguasa. Jika ada pernyataan yang merugikan, jalur hukum akan kami tempuh," tegas Yono, Kamis (3/7/2025).
Ia mendesak manajemen KEI untuk segera mengevaluasi internal dan memperbaiki pola komunikasi publik mereka. "Seharusnya mereka introspeksi, bukan malah menyalahkan media. Kami akan kawal isu ini sampai tuntas," imbuhnya, menandaskan keseriusan PWRI dalam menghadapi kasus ini.
Kemarahan yang sama juga di Gas kan oleh R. M. Hendra, Kepala Biro media independen Kompasone.com. Dengan nada menggelegar, R.M. Hendra yang dikenal tidak berkoloni dengan asosiasi manapun, menyatakan, "Kami Tak akan segan melawan tuduhan untuk melihat mulut KEI seperti apa yang sudah berani menghujat profesi kami sebagai media lokal dan menyebut provokator dari penolakan warga terhadap aktivitas eksplorasi migas."
Pernyataan KEI, menurut R.M. Hendra, adalah "drama yang sama sekali tidak lucu." Sebaliknya, rilis tersebut melukai dan menginjak marwah insan pers yang dilindungi oleh Undang-Undang Pers. "Jangan main-main dengan profesi kami, jangankan menghasut melalui rilis yang menyesatkan, menghalangi tugas kami saja itu sudah pidana," tegasnya.
R.M. Hendra menutup pernyataannya dengan peringatan keras, "Kami ini memang kelihatan tidak kompak, tapi jika siapapun melukai perasaan dan menghasut profesi kami, kami semua akan menyatu layaknya angin tornado yang akan merobohkan apapun yang menjadi masalah bagi profesi kami.
Jadi kami sarankan untuk jangan cari masalah dengan kami, karena akan kami pastikan masalah yang Anda cari akan kami amini dengan senang hati dan tangan terbuka." Sebuah pernyataan yang jelas menggambarkan soliditas jurnalis saat marwah profesi mereka terancam.
Di tempat terpisah, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumenep, M. Syamsul Arifin, turut mengecam keras rilis KEI. Menurutnya, rilis tersebut mencederai etika komunikasi publik dan menimbulkan keresahan di kalangan jurnalis.
"Pernyataan resmi PT KEI itu tidak hanya menyesatkan, tapi juga memperkeruh suasana. Kami jurnalis bekerja berdasarkan fakta dan verifikasi, bukan memprovokasi. Tuduhan itu tidak bisa diterima," tegas Syamsul.
Syamsul juga menyoroti kegagalan KEI dalam menggunakan mekanisme yang benar. "Kalau keberatan, gunakan mekanisme hak jawab sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers. Bukan melempar rilis tendensius," tambahnya, menekankan bahwa tindakan KEI adalah pelanggaran terhadap etika dan prosedur pers.
Desakan keras pun dilayangkan kepada manajemen KEI untuk segera memberikan klarifikasi terbuka dan bertanggung jawab menyikapi dinamika sosial di lapangan. "Sangat disayangkan, perusahaan sebesar KEI justru mengeluarkan pernyataan tak berdasar yang melecehkan profesi wartawan. Kami menunggu klarifikasi terbuka," pungkas Syamsul.
Insiden ini bukan hanya sekadar gesekan komunikasi, melainkan cerminan dari potensi abuse of power dan arogansi korporasi terhadap pilar keempat demokrasi. Akankah KEI dan SKK Migas mampu memahami esensi dan peran vital pers dalam menjaga keseimbangan informasi dan kepentingan publik? Atau justru memilih jalur konfrontasi yang dapat berujung pada konsekuensi hukum serius?
(Team / R. M Hendra)