Sumenep, Kompasone.com - Pemberitaan terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang sempat beredar dan disinyalir dipicu oleh oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta oknum pejabat inspektorat, telah menimbulkan riak di tengah masyarakat Sumenep. Menanggapi hal tersebut,
Tanu, Kepala Desa Kebonagung, 1/J/25 yang dikenal sebagai figur "Pendekar Berdarah dingin" dan memiliki rekam jejak panjang dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat, angkat bicara. Beliau menyerukan agar semua pihak, khususnya NGO dan insan pers, tetap menjaga sinergi dan kolaborasi dalam menjalankan fungsi kontrol sosial mereka.
"Kontrol itu esensial dan harus senantiasa didukung dalam tugasnya," tegas Tanu dalam sebuah pernyataan yang penuh makna. Namun, Tanu juga menekankan pentingnya pemahaman mendalam tentang mekanisme pengelolaan dana desa agar tidak terjadi distorsi informasi yang dapat memperkeruh suasana.
Tanu kemudian menjelaskan secara rinci tentang regulasi dan prosedur pencairan dana desa yang menjadi tulang punggung akuntabilitas keuangan desa. Menurutnya, setiap pekerjaan yang telah dilaksanakan harus dibuktikan dan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) wajib disetorkan. Ini adalah prinsip fundamental dalam pengelolaan dana desa untuk menjamin transparansi dan efektivitas penggunaan anggaran.
Tanu menguraikan bahwa tata kelola dana desa di Indonesia memiliki payung hukum yang kokoh, terdiri dari. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Merupakan landasan utama yang mengatur secara komprehensif tentang eksistensi dan pengelolaan keuangan desa.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Regulasi ini secara spesifik mengupas tuntas mekanisme dana desa yang berasal dari APBN. Setiap tahun, Kementerian Keuangan menerbitkan PMK yang memuat pedoman teknis penyaluran, penggunaan, pemantauan, dan evaluasi dana desa, yang senantiasa diperbarui sesuai kebutuhan.
Peraturan ini mendetailkan aspek perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa. Meskipun terdapat nuansa perbedaan antar daerah dan tahun anggaran, Tanu menegaskan bahwa persyaratan utama pencairan dana desa meliputi:
Dana desa tahap berikutnya tidak dapat dicairkan sebelum pekerjaan fisik atau kegiatan pada tahap sebelumnya selesai atau menunjukkan progres signifikan. LPJ adalah dokumen vital yang berisi rincian penggunaan dana, bukti pengeluaran, dokumentasi kegiatan (foto, daftar hadir, notulen), serta laporan progres. LPJ harus disusun secara transparan dan akuntabel.
Laporan ini memaparkan penyerapan dan alokasi dana secara jelas. Adanya temuan audit atau indikasi penyalahgunaan dana dapat menunda bahkan membatalkan pencairan dana hingga masalah tersebut diselesaikan. Termasuk surat permohonan pencairan, Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang disetujui, dan bukti pendukung lain sesuai ketentuan.
Kepala Desa Tanu secara lugas menekankan bahwa LPJ adalah bukti tak terbantahkan bahwa dana desa telah digunakan sesuai peruntukan dan rencana yang ditetapkan. Tanpa LPJ yang lengkap dan akuntabel, pencairan dana desa tahap selanjutnya tidak akan dapat dilakukan.
Hal ini merupakan mekanisme kontrol yang dirancang untuk mencegah potensi penyalahgunaan dan memastikan bahwa pembangunan di desa berjalan sesuai harapan masyarakat.
"Ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah referensi bagi semua pemangku kebijakan agar memahami mekanisme yang berlaku," ujar Tanu. "Bahkan, jika desa tidak melalui monitoring dari dinas terkait, Dana Desa tidak akan dicairkan."
Pernyataan Kepala Desa Tanu diharapkan dapat menjadi penyejuk di tengah hiruk pikuk informasi, sekaligus menjadi pengingat bagi semua pihak tentang pentingnya pemahaman regulasi dan sinergi dalam mengawal dana desa demi kemajuan bersama.
(R. M Hendra)