Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Gerakan Solidaritas Mahasiswa Toraja Kecam Pandji Pragiwaksono: “Budaya Bukan Bahan Lelucon”

Rabu, November 05, 2025, 22:00 WIB Last Updated 2025-11-06T00:33:22Z

Makassar, kompasone.com - Gerakan Solidaritas Mahasiswa Toraja menyatakan sikap atas kasus penghinaan yang dilakukan oleh Pandji Pragiwaksono, menyusul viralnya kembali potongan video lawakan lama yang menjadi sorotan di ruang publik Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat suku Toraja. Dalam materi stand-up comedy tersebut, Pandji menjadikan tradisi Rambu Solo’—ritual pemakaman sakral bagi orang Toraja—sebagai bahan lelucon yang mengaitkannya dengan isu biaya dan kemiskinan.


Bagi sebagian orang, itu mungkin sekadar candaan. Namun, bagi masyarakat Toraja, itu adalah luka simbolik—saat budaya luhur mereka direduksi menjadi bahan tertawaan.


Menurut mantan Ketua Umum Gerakan Solidaritas Mahasiswa Toraja, Yomar Sandy Mangopo, adat dan budaya Toraja kerap disalahpahami di tengah masyarakat. Bagi masyarakat Toraja, upacara Rambu Solo’ bukan sekadar prosesi kematian, melainkan wujud cinta dan penghormatan terakhir kepada leluhur. Setiap tahapan memiliki nilai religius dan sosial yang mendalam. Kerbau, misalnya, bukan simbol kemewahan, melainkan persembahan spiritual bagi arwah yang akan menuju Puya (alam baka).


Ketika tradisi tersebut ditafsirkan secara dangkal—seolah hanya pesta boros atau ajang pamer kemewahan—muncul ketegangan antara cara pandang modern yang cenderung satir dengan nilai-nilai sakral masyarakat adat. Kasus ini mencerminkan ketegangan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal.


Dalam dunia hiburan modern, komedi sering dianggap sebagai ruang kritik sosial yang bebas. Namun, dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, kebebasan itu tidak absolut. Setiap ekspresi publik membawa tanggung jawab etis untuk menghormati keberagaman.


Kasus Pandji Pragiwaksono juga menjadi pengingat bahwa jejak digital dapat melampaui waktu. Video yang direkam lebih dari satu dekade lalu kini kembali muncul dan memicu dampak sosial baru. Di era media sosial, batas antara masa lalu dan masa kini semakin kabur.


Fenomena ini menegaskan pentingnya literasi budaya digital bagi para kreator konten dan publik figur. Setiap kata, humor, atau narasi yang menyentuh isu budaya harus dipertimbangkan tidak hanya dari segi hiburan, tetapi juga dampak sosialnya.


Kontroversi Pandji bukan semata tentang satu individu atau satu lelucon, melainkan tentang bagaimana bangsa ini memandang keberagaman budaya. Di tengah semangat kebebasan berekspresi, masih ada batas moral yang disebut rasa hormat—sebuah kesadaran bahwa tidak semua hal layak dijadikan bahan tawa.


Komedi bisa menjadi ruang edukatif, kritik sosial, bahkan perekat bangsa, asalkan disampaikan dengan empati terhadap nilai yang hidup dalam masyarakat. Kasus ini seharusnya menjadi momentum reflektif bahwa martabat budaya adalah bagian dari martabat bangsa. Menghormatinya bukan berarti membatasi kreativitas, tetapi memastikan bahwa kebebasan berekspresi tetap berpihak pada kemanusiaan, kearifan, dan saling menghargai.

-VAL

Iklan

iklan