Sumenep, Kompasone.com – Perayaan sakral pernikahan yang seyogianya menjadi puncak kebahagiaan dua keluarga, mendadak tercoreng oleh insiden tak terduga yang melibatkan seorang individu dengan disabilitas mental (ODGJ). Kasus yang mengemuka di Desa Rosong dan Talaga,
Kecamatan Nonggunong, Sumenep, ini bukan sekedar insiden kekerasan biasa, melainkan sebuah kaleidoskop rumit yang menyingkap pelbagai persoalan krusial: dari ketidakpastian status hukum ODGJ, bias penegakan hukum, hingga kegagalan mediasi sosial.
Pesta pernikahan keluarga Sukilan, yang sedianya menjadi manifestasi persatuan dan sukacita, berubah menjadi arena kekacauan ketika Sahwito, seorang ODGJ, mengamuk dan memukuli sejumlah tamu yang dianggapnya asing. Insiden ini sontak memicu kepanikan massal, memaksa para undangan berhamburan mencari perlindungan.
Di luar kerugian emosional yang tak terukur, keluarga besar Sukilan juga menanggung kerugian material yang tak sedikit, ditaksir mencapai puluhan juta rupiah. Ironisnya, di tengah duka dan kerugian tersebut, beberapa anggota keluarga Sukilan justru dilaporkan ke Polsek Nonggunong oleh istri Sahwito. Sebuah pepatah lama, "sudah jatuh ketiban tangga," terasa begitu relevan menggambarkan nasib nahas keluarga Sukilan.
Kejanggalan hukum pertama muncul ketika laporan tersebut diterima berdasarkan keterangan istri Sahwito, yang disinyalir tidak sepenuhnya memahami kronologi kejadian. Lebih mengkhawatirkan, saat Pak Asip, perwakilan keluarga Sukilan, menanyakan status mental Sahwito, anggota Polsek Nonggunong secara kontradiktif mengklaim bahwa Sahwito adalah individu yang "waras" dan "tidak gila."
Pernyataan ini menghadirkan sebuah paradoks serius: bagaimana seorang individu yang perilakunya jelas-jelas mengindikasikan gangguan jiwa dapat dinyatakan waras oleh aparat penegak hukum, terutama jika hal ini mempengaruhi proses hukum selanjutnya? Pengabaian terhadap kondisi medis seseorang dalam konteks hukum dapat berimplikasi pada distorsi keadilan.
Merasa dirugikan dan tidak mendapatkan keadilan, Pak Asip, yang juga merupakan anggota NGO Lembaga KOMANDO, melayangkan laporan tandingan. Namun, laporan Pak Asip terkesan "tidak diurus" dan justru kalah prioritas dibandingkan dengan laporan dari pihak ODGJ. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai imparsialitas dan responsivitas Polsek Nonggunong dalam menangani kasus ini.
Di sisi lain, Kasat Reskrim Polres Sumenep, dalam upaya meredakan konflik, menekan Kepala Desa Rosong dan Kepala Desa Telagah untuk memfasilitasi perdamaian antara kedua belah pihak. Ini adalah langkah yang patut diapresiasi dalam spirit restorative justice, yang berupaya menyelesaikan konflik di luar jalur litigasi formal. Namun, perintah ini terkesan diabaikan oleh Kepala Desa Talagah dan Polsek Nonggunong.
Kegagalan mediasi ini semakin dipertanyakan mengingat rekam jejak Polsek Nonggunong yang disebut-sebut lamban dalam menangani kasus penganiayaan anak di bawah umur yang telah berjalan hampir dua bulan. Kontrasnya, kasus yang melibatkan ODGJ ini justru "digadang-gadang" seolah setara dengan penganiayaan anak di bawah umur, bahkan mendapatkan atensi yang lebih besar.
Keluarga terlapor mengungkapkan bahwa proses perdamaian (tabayyun) terganjal oleh intervensi H. Juhri, yang diidentifikasi sebagai ipar Sahwito. Meskipun istri Sahwito disebut-sebut bersedia berdamai, H. Juhri justru bersikeras agar kasus ini terus berlanjut.
Pernyataan ini mengindikasikan adanya motif atau kepentingan tertentu yang menghalangi tercapainya penyelesaian damai. Peran H. Juhri dalam dinamika konflik ini perlu diinvestigasi lebih lanjut, mengingat ia bukan pihak langsung yang terlibat dalam insiden tersebut.
Kegagalan kepala desa Talagah, yang desanya disebut "bagaikan istana," dalam mendamaikan warganya juga menjadi sorotan. Ini menunjukkan bahwa kemewahan material tidak selalu berkorelasi dengan kapasitas kepemimpinan dan kemampuan menyelesaikan masalah sosial.
Antusiasme Kapolsek Nonggunong, Komar, yang dilaporkan "menyuruh secepatnya berdamai" namun tanpa hasil konkret, juga menimbulkan keraguan terhadap efektivitas pendekatannya.
Kasus ini adalah cermin kompleksitas penegakan hukum di tengah masyarakat yang majemuk. Ia menyoroti urgensi pemahaman yang komprehensif terhadap kondisi mental seseorang dalam konteks hukum, perlunya imparsialitas aparat penegak hukum, dan efektivitas mekanisme mediasi sosial.
Lebih dari sekadar mencari siapa yang bersalah, kasus ini adalah panggilan untuk refleksi kolektif: bagaimana negara dan masyarakat dapat memberikan perlindungan yang adil bagi semua warganya, termasuk ODGJ, serta bagaimana kita dapat menciptakan sistem yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memulihkan dan mendamaikan.
Keberlanjutan proses penyidikan setelah kegagalan mediasi harus dibarengi dengan komitmen teguh terhadap prinsip-prinsip keadilan dan empati, demi mencegah tragedi berulang dan memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan haknya untuk hidup dalam harmoni dan keadilan.
(R. M Hendra)