Sumenep, kompasone.com - Dalam kancah administrasi kepelabuhanan, prinsip integritas dan akuntabilitas merupakan fondasi esensial guna mengukuhkan operasional yang transparan dan berkeadilan. Publik kini menyoroti secara tajam dinamika di Pelabuhan Pelindo Kalianget, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, menyusul mencuatnya dugaan penyimpangan substansial dalam pengelolaan
Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM). Informasi yang terekam mengindikasikan adanya praktik pungutan liar yang secara terang-benderang merugikan hak-hak normatif para pekerja, serta berpotensi melibatkan oknum-oknum yang memegang peran vital dalam tatanan struktural kepelabuhanan.
Dalam konteks operasional maritim, Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) adalah entitas pekerja yang secara langsung berpartisipasi dalam proses pemindahan komoditas dari dan ke kapal. Eksistensi mereka adalah krusial dalam menjamin kelancaran arus logistik di pelabuhan.
Sejalan dengan itu, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) merupakan institusi negara yang diamanatkan otoritas serta responsibilitas dalam melakukan supervisi, pengawasan, dan penegakan regulasi hukum di wilayah pelabuhan.
KSOP memiliki mandat fundamental untuk mengawasi aktivitas TKBM, memastikan terpenuhinya aspek keselamatan, keamanan, dan efisiensi dalam keseluruhan operasional pelabuhan.
Kontras dengan standar kepatutan yang seharusnya diimplementasikan, TKBM Pelabuhan Pelindo Kalianget diduga kuat telah menjadi lokus praktik penyimpangan yang patut diduga syarat akan pungutan liar. Kebijakan pemotongan upah secara sepihak sebesar 25% dari setiap remunerasi yang diterima anggota TKBM telah menimbulkan keresahan signifikan di kalangan masyarakat Sumenep.
Pemotongan ini, yang diterapkan secara global dan merata kepada setiap individu, dinilai mencederai prinsip transparansi dan merobohkan nilai-nilai kepercayaan terhadap integritas pengelolaan TKBM Kalianget. Sumber informasi, berinisial "H", secara gamblang mengungkapkan bahwa pemotongan ini merupakan kelanjutan dari praktik sebelumnya yang mencapai 30% untuk pekerja di dalam area pelabuhan.
Data yang berhasil dihimpun secara komprehensif menguraikan skema pembagian hasil pemotongan yang merugikan tersebut: 5% dialokasikan kepada "ancor"—pihak yang belum teridentifikasi secara eksplisit; 10% untuk entitas TKBM dan 10% sisanya secara sistematis diduga mengalir kepada oknum di lingkungan KSOP.
Implikasi finansial dari praktik ini disinyalir mencapai skala yang sangat fantastis, dengan estimasi setoran bulanan kepada oknum KSOP mencapai Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Dua individu dengan inisial BR dan RS secara spesifik diindikasikan sebagai pihak yang aktif menerima aliran dana yang bersumber dari hasil jerih payah tenaga kerja TKBM Pelindo. Dana ini diduga dikumpulkan oleh oknum TKBM untuk kemudian disetorkan kepada oknum Mandor, dan selanjutnya kepada oknum KSOP.
Selain pemotongan persentase, terdapat pula mekanisme penarikan iuran bulanan atau setengah bulanan dari anggota TKBM, termasuk bagi 82 orang pekerja di luar area, dengan nominal Rp900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah) per individu setiap bulannya.
Keterlibatan oknum KSOP dalam skema pungutan liar ini, bilamana terbukti melalui proses pembuktian hukum, merupakan manifestasi dari penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran pidana yang serius. Hal ini tidak hanya berimplikasi pada kerusakan reputasi institusional, melainkan juga berpotensi mengancam stabilitas sistem hukum dan merapuhkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di sektor maritim.
Seluruh informasi dan data yang disajikan dalam berita ini merupakan hasil pulbaket (pengumpulan bahan keterangan) berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan. Data ini diharapkan dapat segera di advokasikan sebagai Laporan Informasi (LI) kepada aparat penegak hukum yang berwenang, guna ditindaklanjuti dengan investigasi mendalam dan prosedur yudisial yang relevan. Kami menegaskan kesiapan untuk menyerahkan seluruh bukti pulbaket yang mengindikasikan praktik TKBM yang diduga ilegal ini kepada otoritas yang berwenang.
Praktik-praktik yang merugikan hak-hak pekerja dan berpotensi melibatkan korupsi dalam struktur kepelabuhanan ini adalah ancaman serius terhadap integritas tata kelola negara. Penegakan hukum yang tegas dan tanpa kompromi adalah keniscayaan untuk memberantas praktik culas ini dan mengembalikan marwah keadilan di sektor maritim Indonesia.
(R. M Hendra)