Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Sumenep Memanas, Praktisi Hukum Ultimatum Kejaksaan Negeri Soal Dugaan Korupsi BSPS

Jumat, Mei 02, 2025, 06:56 WIB Last Updated 2025-05-01T23:56:52Z


Sumenep, Kompasone.com - Gelombang dugaan praktik lancung program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Sumenep memasuki babak baru yang lebih menegangkan. Praktisi hukum kawakan, Kamis 1/5/25, Ach. Supyadi, S.H., M.H., yang dikenal dengan julukan "Lawyer Single Fighter," tanpa tedeng aling-aling mendesak Kejaksaan Negeri Sumenep untuk segera menetapkan tersangka dalam pusaran kasus yang telah mencoreng citra program pemerintah dan menyentuh nurani masyarakat luas.


Dengan nada imperatif, Supyadi secara eksplisit menunjuk pihak-pihak yang diduga kuat menjadi aktor intelektual dan lapangan dalam praktik koruptif ini. "Para pihak yang patut diduga kuat terlibat adalah entitas E-warung atau E-material yang berkolaborasi dengan kepala desa yang ditunjuk oleh pihak yang membawa program BSPS ke desa-desa. Alur distribusi material dari E-material kepada penerima manfaat menjadi sorotan tajam, mengingat adanya keluhan masyarakat terkait dugaan potongan dana yang signifikan," ujar Supyadi dengan intonasi yang tak terbantahkan.


Lebih lanjut, Supyadi menegaskan bahwa cakupan penyidikan aparat penegak hukum tidak boleh berhenti pada aspek permukaan. "Esensi dari penegakan hukum adalah menjangkau pihak-pihak yang diduga kuat melakukan praktik KKN – korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lingkaran ini disinyalir melibatkan oknum kepala desa, pengelola E-warung, hingga pendamping pelaksanaan BSPS, bahkan berpotensi merambah hingga pihak-pihak di level yang lebih tinggi," urainya dengan gestur yang menekankan urgensi penuntasan kasus ini.


Menanggapi potensi keterlibatan Penjabat (PJ) Kepala Desa dalam proses pengumpulan data penerima manfaat, Supyadi dengan cerdas menyatakan bahwa aspek teknis administratif tidak dapat dijadikan tameng jika terindikasi adanya penyimpangan yang bersifat pidana. 


"Meskipun petunjuk teknis telah mengatur alur pelaksanaan BSPS, prinsip fundamentalnya adalah pelaksanaan program yang benar dan bebas dari praktik koruptif. Pihak-pihak yang diduga terlibat langsung, termasuk oknum perangkat desa, PJ Kepala Desa, maupun pendamping yang bermain dengan dana BSPS, konsekuensinya jelas mengarah pada ranah pidana, bukan sekadar pengembalian kerugian negara," tandasnya dengan tatapan mata yang tajam.


Supyadi juga menyinggung kebijakan Presiden Joko Widodo terkait pengembalian kerugian negara di bawah Rp 250 juta. Namun, dengan argumentasi yang kuat, ia menekankan bahwa akumulasi kerugian negara dalam kasus BSPS Sumenep ini jauh melampaui batas tersebut. 


"Secara kasat mata, praktik pemotongan dana yang tidak sampai secara utuh kepada penerima manfaat terjadi secara masif di berbagai desa. Jika diakumulasikan, kerugian negara dalam kasus ini saya yakini telah mencapai miliaran rupiah. Oleh karena itu, penetapan tersangka menjadi imperatif, dan para pihak yang diduga terlibat, mulai dari oknum perangkat desa, kepala desa, PJ Kepala Desa, hingga oknum E-warung yang bersekongkol, harus segera dimintai pertanggungjawaban secara hukum," tegasnya dengan nada yang tak memberi ruang untuk kompromi.


Lebih lanjut, Supyadi menyoroti respons cepat Kementerian terkait yang telah turun langsung ke lapangan. "Langkah persuasif, teknis, dan survei yang dilakukan oleh pihak Kementerian adalah langkah positif untuk mendapatkan gambaran riil di lapangan. Namun, hal tersebut bersifat prosedural dan tidak dapat dijadikan satu-satunya patokan hukum. Masyarakat berhak mengetahui kebenaran yang sesungguhnya terkait dana yang mereka terima dan material yang disalurkan oleh E-material. Aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan Negeri Sumenep, harus merespons keseriusan birokrasi di tingkat pusat ini dengan tindakan nyata yang progresif," serunya.


Menutup pernyataannya, Supyadi memberikan ultimatum yang cukup tajam. "Jika hingga bulan Mei ini belum ada penetapan tersangka oleh Kejaksaan Negeri Sumenep, dengan berat hati saya sebagai praktisi hukum akan mempertanyakan kinerja dan komitmen Kejaksaan Negeri Sumenep dalam memberantas praktik korupsi di wilayah ini. Momentum yang telah terbangun, dengan atensi publik dan respons cepat dari pemerintah pusat, seharusnya menjadi pemicu bagi penegakan hukum yang cepat, transparan, dan berkeadilan," pungkasnya dengan nada penuh harap namun sarat akan ketidakpercayaan jika tidak ada tindakan konkret.


Terkait kemungkinan pengembalian kerugian negara oleh oknum kepala desa, Supyadi dengan tegas menyatakan bahwa hal tersebut tidak serta merta menghapus jerat pidana korupsi. 


"Keputusan terkait pengembalian kerugian negara dan implikasi hukumnya sepenuhnya berada di tangan aparat penegak hukum. Namun, dengan akumulasi kerugian negara yang mencapai miliaran rupiah, pengembalian dana semata tidak dapat menghapus tindak pidana korupsi. Kebijakan terkait pengembalian kerugian negara di bawah Rp 250 juta yang pernah digaungkan tidak relevan dengan skala kasus BSPS di Sumenep yang telah menjadi konsumsi publik dan terbukti secara faktual di lapangan," tutupnya dengan argumentasi hukum yang sulit dibantah.


(R. M Hendra)

Iklan

iklan
iklan