Sumenep, Kompasone.com - Dalam lanskap media massa yang seharusnya menjunjung tinggi objektivitas dan keakuratan informasi, sebuah anomali mencolok kembali mencoreng integritas jurnalisme. Pemberitaan yang beredar luas mengenai dugaan pemecatan seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) bernama Rasulullah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Torjek 2 Kec. Kangaysn. Kab. Sumenep. sebagaimana dilansir oleh berbagai platform, terindikasi kuat sebagai sebuah narasi yang hiperbolis, tendensius, dan berpotensi menyesatkan khalayak ramai.
Berdasarkan klasifikasi eksklusif yang disampaikan oleh Kepala Sekolah SDN Torjek 2, Bapak Arifin, klaim mengenai pemecatan Rasulullah adalah "pernyataan tak berdasar dan menyesatkan". Dengan nada tegas dan lugas, Bapak Arifin menyatakan bahwa institusi yang dipimpinnya tidak pernah menerbitkan Surat Keputusan (SK) pemecatan atas nama guru yang bersangkutan. Pernyataan ini secara diametral bertentangan dengan konstruksi narasi yang telah terlanjur bergulir di ruang publik.
Lebih lanjut, fakta yang terungkap justru menyingkap adanya dinamika yang berbeda sama sekali. Enam orang wali murid dilaporkan mengajukan aspirasi agar dua orang guru, Rasulullah dan Mudeloleno, dievaluasi keberadaannya di sekolah. Alasan yang mendasari tuntutan tersebut adalah persepsi wali murid bahwa kedua pendidik ini lebih aktif dalam ranah sosial kemasyarakatan layaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ketimbang menjalankan fungsi dan peran seorang guru secara optimal.
Menyikapi aspirasi tersebut, pihak sekolah mengambil langkah mediatif yang patut diapresiasi. Sebuah forum pertemuan difasilitasi, mempertemukan wali murid, kedua guru yang bersangkutan, serta melibatkan pengawas sekolah, Bapak Masrur. Hasil dari pertemuan konstruktif tersebut mencapai sebuah titik temu: kedua guru diberikan kesempatan untuk tetap menjalankan tugasnya dengan catatan membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi aktivitas yang dipandang kurang sesuai oleh sebagian wali murid.
Sebuah ironi mencuat ketika Bapak Mudeloleno menunjukkan itikad baik dengan menaati kesepakatan dan menandatangani surat pernyataan tersebut. Namun, Rasulullah memilih jalur yang berbeda. Informasi yang dihimpun mengindikasikan adanya penolakan untuk membuat surat pernyataan, bahkan diwarnai dengan ekspresi emosional. Kendati demikian, perlu digaris bawahi bahwa respons emosional seseorang tidak serta-merta dapat diinterpretasikan sebagai bukti terjadinya pemecatan.
Konfirmasi independen Kompas One, dari pihak Rasulullah sendiri pada Rabu, 7 Mei 2025, pukul 11:23 WIB, semakin memperkuat bantahan atas narasi pemecatan. Dengan artikulasi yang jelas dan tanpa keraguan, Rasulullah mengatakan, "Saya tidak pernah merasa menerima SK pemecatan dan tidak ada orang yang memecat saya hingga hari ini." Pernyataan ini menjadi antitesis bagi pemberitaan yang terlanjur menyebar, menimbulkan pertanyaan serius mengenai validitas sumber informasi dan etika jurnalistik yang dianut oleh media yang bersangkutan.
Dalam perspektif hukum dan etika profesi, penyebaran informasi yang tidak terverifikasi dan cenderung sensasional dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip kehati-hatian dan tanggung jawab sosial media. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Pers serta Kode Etik Jurnalistik secara eksplisit mengamanatkan kewajiban media untuk menyajikan fakta secara akurat, berimbang, dan tidak menimbulkan interpretasi yang menyesatkan.
Kasus ini menjadi preseden penting yang menyoroti betapa rentannya ruang publik terhadap disinformasi dan bagaimana narasi yang dibangun tanpa verifikasi yang memadai dapat merugikan berbagai pihak, termasuk institusi pendidikan, tenaga pendidik, dan masyarakat secara luas. Implikasi hukum dan reputasi bagi media yang terbukti menyebarkan informasi yang tidak akurat juga patut menjadi perhatian serius.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah refleksi mendalam bagi seluruh ekosistem media massa untuk kembali pada khittah jurnalisme yang berintegritas, mengedepankan verifikasi faktual, dan menjauhi praktek sensasionalisme yang hanya berorientasi pada rating dan klik semata. Kebenaran adalah mata uang utama dalam dunia informasi, dan distorsinya adalah sebuah penghianatan terhadap kepercayaan publik yang telah diberikan. Kasus SDN Torjek 2 ini menjadi pengingat yang pahit namun krusial akan pentingnya jurnalisme yang bertanggung jawab dan beretika.
(R. M Hendra)