Sumenep, Kompasone.com – Penangkapan Syaiful, aktivis kawakan dari LSM Sidik, atas laporan dugaan pemerasan oleh Kepala Desa Batang-Batang Dejeh, Sumenep, telah memantik gelombang kontroversi dan kegelisahan di kalangan masyarakat sipil, khususnya aktivis di Madura. Insiden ini tak hanya menyisakan pertanyaan tentang keadilan, namun juga menyoroti kompleksitas relasi antara aparatur desa dan lembaga kontrol sosial.
Syaiful, yang kini mendekam di balik jeruji besi, dilaporkan oleh Kepala Desa atas tuduhan pemerasan. Namun, ironisnya, LSM Sidik yang dipimpin Syaiful diketahui menyimpan data valid terkait dugaan penyimpangan proyek infrastruktur di desa tersebut, sebuah indikasi potensi kerugian negara yang semestinya menjadi fokus investigasi serius.
Sejumlah aktivis dan pengamat hukum mempertanyakan narasi pemerasan yang disematkan pada Syaiful. Mereka menyoroti beberapa kejanggalan dalam proses penangkapan
Jika Syaiful ditangkap atas dugaan pemerasan, muncul pertanyaan krusial: mengapa data yang dipegang Syaiful terkait dugaan penyimpangan infrastruktur tidak turut dikembangkan dan menjadi bagian dari penyelidikan? Bukankah seharusnya informasi tersebut menjadi petunjuk penting untuk mengungkap kebenaran?
Jika penangkapan Syaiful adalah sebuah OTT, sebagaimana lazimnya dalam kasus pemerasan atau suap, mengapa hanya Syaiful yang digiring ke APH? Dalam konteks OTT yang sejati, seharusnya pihak pemberi dan penerima sama-sama diamankan untuk membuktikan adanya kesepakatan dan tindak pidana. Ketiadaan Kepala Desa sebagai terperiksa dalam momen penangkapan ini menimbulkan spekulasi adanya pelaporan sepihak yang perlu didalami lebih lanjut.
Jika Kepala Desa merasa berada di pihak yang benar dan tidak melakukan penyimpangan, mengapa ia harus membayar dan kemudian melaporkan Syaiful atas dasar pemerasan? Logika ini dianggap bertolak belakang oleh banyak pihak, seolah-olah mengindikasikan adanya jebakan yang disengaja untuk membungkam kritik.
Oleh beberapa aktivis peristiwa ini dianggap sebagai perlakuan tidak adil dan sebuah jebakan yang sengaja dimainkan oleh Kepala Desa. Hal ini menciptakan iklim tidak kondusif bagi masyarakat, terutama bagi aktivis yang selama ini bergerak sebagai kontrol dan pengawas jalannya pemerintahan. Ketakutan akan kriminalisasi dapat membekukan keberanian mereka untuk menyuarakan kebenaran dan mengawal penggunaan anggaran negara.
"Ini bukan hanya tentang Syaiful. Ini adalah tentang masa depan kontrol sosial di Sumenep dan di seluruh negeri," ujar seorang aktivis senior yang enggan disebut namanya. "Ketika aktivis yang memegang data dugaan korupsi justru dipenjara atas tuduhan pemerasan, maka ini adalah sinyal bahaya bagi demokrasi kita."
independensi aktivisme, dan penegakan hukum yang adil. Publik menantikan transparansi dan objektivitas dari APH dalam mengusut tuntas kasus ini, tidak hanya dari sisi dugaan pemerasan, tetapi juga dari sisi dugaan penyimpangan infrastruktur yang disinyalir oleh LSM Sidik.
Kebenaran harus terungkap, demi menjaga kepercayaan publik dan memastikan roda kontrol sosial tetap berjalan sebagaimana mestinya.
(R. M Hendra)