Sumenep, Kompasone.com – Peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pejabat Inspektorat di Sumenep atas dugaan pemerasan terhadap Kepala Desa Batang-Batang Daya telah memantik atensi publik yang intens.
Di tengah pusaran pemberitaan mengenai tindak pidana pemerasan, eskalasi narasi hukum dan etika menuntut pendalaman substansial: apa sebetulnya motif fundamental di balik aksi pemerasan ini, dan implikasi hukum apa yang seharusnya dikaji secara komprehensif?
Praktisi Hukum terkemuka, H. Safiudin SH, MH., yang juga menjabat sebagai Ketua Komunitas Warga Kepulauan (KWK), menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh dievaluasi dari perspektif parsial. "Jika sang Kepala Desa merasa menjadi subjek pemerasan, maka rasionalitas hukum mengharuskan kita menanyakan: atas dasar justifikasi apa pemerasan tersebut dilakukan?
Apakah terdapat indikasi penyalahgunaan alokasi dana desa yang terdeteksi oleh para terduga pelaku? Atau, justru fenomena ini merupakan manifestasi dari suap terselubung yang bertujuan untuk mengaburkan fakta penyimpangan tersebut dari sorotan publik?" ujar H. Safiudin, menukik tajam pada inti persoalan.
Dalam adagium hukum yang sederhana, tidak ada tindakan pemerasan yang eksis tanpa adanya ‘celah’ atau potensi kerentanan yang dapat dieksploitasi. Oleh karena itu, imperatif bagi penyidik kepolisian dan aparat Inspektorat untuk tidak hanya memusatkan penyelidikan pada subjek pemerasan semata.
Fokus investigasi harus diperluas secara simultan untuk mengurai dugaan korupsi atau penyalahgunaan anggaran dana desa yang mungkin dilakukan oleh pihak kepala desa.
Apabila proses hukum hanya menargetkan pelaku pemerasan, sementara potensi tindak pidana korupsi yang menjadi pemicu diabaikan, maka implementasi penegakan hukum di Indonesia dapat dikategorikan sebagai timpang dan tidak memenuhi prinsip keadilan substantif. H. Safiudin menekankan,
"Penegakan hukum yang berintegritas dan imparsial mesti menyentuh dua dimensi fundamental: 'aksi' sebagai pemicu dan 'reaksi' sebagai konsekuensi. Adalah sebuah antitesis terhadap keadilan jika hanya 'reaksi' yang diproses secara yuridis, sementara 'aksi' yang menjadi katalisator pemerasan justru dibiarkan berada dalam impunitas."
Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa tindakan pemerasan, dalam konteks apapun, adalah delik pidana yang tidak dapat dibenarkan. Namun, demi tercapainya keadilan yang holistik, semua pihak yang terindikasi terlibat dan memiliki keterkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum harus melalui proses pemeriksaan yang cermat dan transparan.
Publik tidak sepatutnya hanya disajikan narasi OTT yang sensasional, sementara akar permasalahan yang lebih substansial dan berdampak luas terhadap integritas pengelolaan keuangan negara dibiarkan berkembang tanpa resolusi hukum yang definitif. Penelusuran menyeluruh atas dugaan korupsi dana desa adalah langkah krusial untuk memastikan akuntabilitas dan mencegah residivisme tindak pidana serupa di masa mendatang.
(R. M Hendra)