Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Ketika Hutan Menangis, Makhluk Hidup Kehilangan Rumahnya

Rabu, Mei 28, 2025, 18:47 WIB Last Updated 2025-05-28T11:53:23Z


Tangerang, kompasone.com - (opini)

"Ketika pohon terakhir ditebang, ikan terakhir ditangkap, dan sungai terakhir tercemar, barulah manusia sadar bahwa uang tidak bisa dimakan."( Pepatah Suku Indian )


Hutan yang Tak Lagi Ramai


Bayangkan hutan yang dulu hijau dan ramai. Kita bisa mendengar suara burung berkicau, monyet-monyet melompat dari dahan ke dahan, dan angin yang meniup daun-daun. Tapi sekarang, banyak hutan di Indonesia berubah menjadi sunyi. Bukan karena malam, tapi karena pohon-pohon ditebang dan hewan-hewan pergi.


Banyak hutan di Kalimantan dan Sumatra kini digantikan oleh perkebunan, pabrik, dan gedung. Harimau Sumatra kehilangan tempat berburu. Orangutan kehilangan pohon tempat bergelantungan. Mereka tidak bisa berbicara seperti kita, tapi mereka merasakan kehilangan. Saat rumah mereka dirusak, mereka bingung harus ke mana.


Beberapa orang menebang pohon demi uang. Mereka membuka lahan untuk ditanami kelapa sawit atau dijadikan pemukiman. Padahal, hutan tidak hanya rumah bagi hewan. Hutan juga penghasil oksigen dan penjaga air tanah. Jika hutan hilang, maka banjir dan longsor akan lebih sering terjadi. Bumi akan kehilangan paru-parunya.


Sampah dan Polusi Membuat Nafas Sesak


Bukan hanya hutan yang menangis, laut dan sungai pun kini ikut sedih. Dulu, air sungai jernih dan bisa diminum. Kini, banyak sungai tercemar oleh limbah pabrik dan sampah rumah tangga. Plastik mengambang, ikan-ikan mati, dan bau busuk menyengat.


Laut yang luas kini penuh dengan sampah plastik. Botol, kantong, bahkan sandal bekas ditemukan terapung di tengah laut. Penyu dan ikan sering salah makan. Mereka mengira plastik adalah ubur-ubur atau makanan lainnya. Setelah termakan, plastik tidak bisa dicerna, lalu perlahan membunuh mereka.


Di udara pun, polusi menyelimuti langit. Di kota-kota besar, asap kendaraan membuat udara kotor. Bahkan, beberapa daerah seperti Riau dan Kalimantan pernah dilanda kabut asap karena kebakaran hutan. Anak-anak harus memakai masker dan sekolah diliburkan. Ini semua karena alam yang tidak dijaga.


Udara, air, dan tanah adalah bagian penting dari kehidupan makhluk hidup. Jika semuanya kotor dan rusak, bukan hanya hewan yang akan sakit—kita juga. Itulah mengapa kita harus peduli.


Ayo Jadi Penjaga Bumi


Mungkin kita bertanya, "Apa yang bisa dilakukan anak-anak seperti kita?" Jawabannya: banyak. Kita bisa mulai dari hal kecil, seperti membuang sampah pada tempatnya, tidak menyiksa hewan, dan menghemat air dan listrik. Hal sederhana itu bisa membawa perubahan besar jika dilakukan bersama-sama.


Di sekolah, kita bisa mengikuti kegiatan seperti penanaman pohon atau kerja bakti membersihkan lingkungan. Di rumah, kita bisa mengajak keluarga untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Kita juga bisa membuat poster atau video ajakan menjaga alam dan menyebarkannya ke teman-teman.


Lebih dari itu, kita harus belajar untuk mencintai alam. Jika kita mencintai sesuatu, maka kita tidak akan merusaknya. Cinta pada alam bisa tumbuh dari membaca buku tentang lingkungan, menonton film dokumenter, atau berjalan-jalan di taman sambil memperhatikan keindahan bunga, burung, dan pepohonan.


Menjadi penjaga bumi bukan soal usia. Bukan soal gelar. Tapi soal hati. Jika kita memiliki hati yang peduli, maka bumi akan merasa lebih aman. Hewan-hewan tidak akan takut kehilangan rumahnya. Sungai bisa mengalir jernih. Udara bisa kita hirup tanpa rasa sesak.


"Bumi tidak mewarisi kita dari nenek moyang, tetapi kita meminjamnya dari anak cucu. ( Pepatah Bijak)


Penulis : Agus Sumarno 

(Seniman, redaktur pelaksana kompasone.com)

Iklan

iklan