Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Keresahan Peradilan di Kota Keris Sorotan Tajam atas Penyimpangan Penegakan Hukum di Sumenep

Senin, Mei 26, 2025, 13:17 WIB Last Updated 2025-05-26T06:17:47Z


Sumenep, Kompasone.com – Penegakan hukum di Kabupaten Sumenep, yang acap dijuluki sebagai "Kota Keris," kini tengah diguncang gelombang sorotan publik yang kian menguat. Keresahan ini tidak hanya merasuki benak masyarakat awam, melainkan juga memantik respons kritis dari para aktivis dan pengamat hukum. Adanya disparitas dalam penanganan kasus hukum disinyalir telah mengikis sendi-sendi kepercayaan publik, khususnya di wilayah hukum Sumenep.


Episentrum persoalan ini terletak pada anomali mencolok terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Hampir mayoritas permohonan PK yang diajukan oleh terpidana narkoba, yang notabene merupakan subjek hukum yang merasakan ketidakadilan dalam proses peradilan sebelumnya, kerap dikabulkan oleh MA. 


Fenomena ini, meski secara kasat mata memberikan rasa keadilan bagi para pemohon yang PK-nya dikabulkan, justru menjadi indikator krusial bahwa terdapat disfungsi sistemik dalam tata kelola hukum di Sumenep. Para pemohon PK secara kolektif merasa tidak mendapatkan perlakuan adil sejak tahapan penyidikan, penuntutan, hingga putusan.


Guna menelisik lebih dalam perihal topik hangat yang menjadi diskursus di tengah masyarakat, awak media Kompas One berkesempatan hadir dalam persidangan salah satu terdakwa kasus narkoba pada 26 Mei 2025. Dalam pembacaan dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum di hadapan Majelis Hakim, terdakwa Ongki Surya Abdi secara tegas menyangkal substansi dakwaan yang ditujukan kepadanya.


Ongki, yang akrab disapa dengan panggilan karibnya, secara eksklusif memberikan pernyataan kepada Kompasone.com. Ia mengakui, “Saya akui mengonsumsi sabu hanya dua kali. Pertama, dua bulan sebelum penangkapan. Kedua, pada siang hari pukul 12.00, kemudian ditangkap pada pukul 10.00 pagi di rumah.” Pernyataan ini menjadi titik awal bagi Ongki untuk mengelaborasi bantahannya terhadap dakwaan.


Lebih lanjut, Ongki menegaskan, “Saya menyangkal dakwaan karena dalam dakwaan disebutkan barang bukti sabu seberat 0,30 gram yang ditemukan dalam bungkus rokok Surya 12. Itu tuduhan yang tidak masuk akal. Pertama, saya tidak mengkonsumsi rokok filter apalagi Surya 12; saya hanya merokok Dji Sam Soe Kretek dengan Oepet. Kedua, saya hanya membeli sabu seperempat gram seharga Rp300.000. Seharusnya tidak ada sisa lagi karena telah habis saya pakai pada siang hari dan tidak ada sisa.”


Ongki bahkan menengarai adanya rekayasa dalam proses penangkapannya, “Ini ada rekayasa antara penyidik dan pihak ketiga yang sengaja ingin menjerat saya. Pasalnya, pada saat saya digerebek dan digeledah oleh Kepala Desa Jadung dan anggota Polsek Tungkek, tidak ditemukan sabu. Kemudian saya digiring ke luar rumah. Setelah itu, Kepala Desa masuk lagi diikuti oleh Pak Kanit. Tak lama kemudian, saya dibawa masuk lagi ke dalam rumah oleh anggota lain. Setelah di dalam, langsung menunjukkan barang bukti bungkus rokok Surya 12 yang kononnya baru ditemukan.”


Puncak kejanggalan bagi Ongki terletak pada penerapan pasal-pasal yang didakwakan kepadanya. “Dan anehnya lagi, pasal-pasal yang didakwakan ke saya tidak sesuai dengan fakta dan kejadian. Masa saya didakwa Pasal 112 atau 114 sebagai kurir atau bandar? Ini aneh!” pungkasnya dengan nada heran. 


Namun demikian, Ongki menunjukkan sikap tegar dan optimisme. “Tapi itu semua tidak ada masalah bagi saya. Berapa lama pun saya dituntut, akan saya terima. Nanti saya akan menggunakan hak saya, akan melakukan upaya hukum PK ke Mahkamah Agung. Di sana, Insya Allah saya akan mendapatkan keadilan sebagaimana pengalaman teman-teman yang senasib dengan saya.”


Pernyataan Ongki ini tidak hanya menggarisbawahi dugaan ketidakprofesionalan dalam penyidikan, tetapi juga memperkuat persepsi publik tentang adanya ketimpangan hukum. Kasus Ongki menjadi cermin representatif dari fenomena yang lebih besar di Sumenep, di mana keyakinan akan keadilan tampaknya hanya dapat ditemukan melalui upaya hukum di tingkat tertinggi, yakni Mahkamah Agung. 


Kondisi ini menuntut evaluasi komprehensif terhadap mekanisme penegakan hukum di tingkat lokal guna mengembalikan integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di “Kota Keris.”


(R. M Hendra)

Iklan

iklan