Sumenep, Kompasone.com – 2 April 2025 – Sebuah tragedi kemanusiaan yang mengoyak rasa keadilan menimpa Lutrianto, seorang anak di bawah umur di Talango Kabupaten Sumenep. Peristiwa ini bukan sekadar insiden kekerasan biasa, melainkan cerminan rapuhnya sistem perlindungan anak yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi mereka yang paling rentan.
Kasus ini menyoroti urgensi penegakan hukum yang transparan dan berpihak pada korban, terutama ketika menyangkut masa depan generasi penerus bangsa indonesia. Lutrianto, seorang remaja yang seharusnya menikmati masa mudanya, justru harus merasakan pahitnya kekerasan dan kehilangan.
Saini, atau akrab disapa Enni, warga Desa Talango, dilaporkan menjadi terduga pelaku penganiayaan dan pencurian sepeda motor milik Lutrianto. Panggilan dari Polres Sumenep kepada Enni terkait dugaan ini membuka tabir ironi hukum yang kerap kali berpihak pada dalih yang meragukan.
Menurut Kanit Pidum Asmuni, yang dikenal tak pandang bulu dalam menangani kejahatan, Enni bersikukuh bahwa ia "mengamankan" sepeda motor Lutrianto, bukan mencurinya. Sebuah alibi yang kontradiktif dengan keterangan Lutrianto yang menyebut Enni membawa celurit saat mengambil motornya.
Ketiadaan saksi kunci yang dipanggil 22/Mei/25 semakin mempersulit upaya penyingkapan kebenaran, namun Kanit Asmuni menegaskan komitmennya untuk turun langsung ke lokasi guna mendalami kasus ini. "Saya akan turun ke lokasi terkait kasus iniMas Hendra," tegasnya, menunjukkan keseriusan pihak kepolisian dalam mengungkap fakta.
Di sudut rumahnya, dengan mata berkaca-kaca, Lutrianto 22/Mei/25 mengungkapkan keyakinan dan harapannya yang mendalam terhadap Polres Sumenep. "Saya percaya dengan Polres Sumenep, tidak akan pernah membantu orang yang sudah berbuat jahat dan zalim kepada saya," ujarnya, dengan suara tercekat menahan isak tangis. Kata-kata Lutrianto adalah jeritan hati yang sarat akan kepedihan dan permohonan keadilan.
Ia mengibaratkan dirinya sebagai "anak kesayangan" para penegak hukum, memohon agar Kapolres, Kasat Reskrim, Kanit Pidum, serta penyidik PPA dan Pidum Polres Sumenep tidak memberikan ruang sedikitpun bagi pelaku kejahatan.
"Jika saya ini anak kesayangan Bapak, apa yang akan Bapak lakukan terhadap orang yang sudah menganiaya dan mengambil motor kesayangan anak Bapak ini?" tanyanya, sebuah pertanyaan retoris yang menggugah empati dan menuntut tindakan nyata. Lutrianto menegaskan keyakinannya bahwa Polisi adalah milik rakyat yang berada di jalan yang benar.
Kasus Lutrianto juga menarik perhatian Pak Pang Tal, seorang tokoh masyarakat yang disegani dan dikenal peduli terhadap keamanan serta perlindungan anak di bawah umur. Pak Pang Tal mempertanyakan alibi Enni. "Jika terlapor beralibi mengamankan motor milik terlapor, jadi untuk apa terlapor mencari korban yang bernama Lutrianto dengan membawa celurit terhunus hingga Lutrianto lari terbirit-birit karena dari saking takutnya kepada terlapor?" tanyanya.
Ia menambahkan, ketidakpuasan terlapor yang kemudian mengambil motor tanpa izin dan bahkan menganiaya Lutrianto bersama istrinya saat korban terbangun dari tidurnya, sungguh memilukan. "Sungguh malang nasib anak ini," pungkas Pak Pang Tal, mencerminkan keprihatinan kolektif masyarakat terhadap nasib Lutrianto.
Keadilan bagi Lutrianto bukan hanya sekadar penegakan hukum, melainkan penegasan bahwa setiap anak berhak atas rasa aman dan perlindungan dari kekerasan. Kita menanti respons konkret dari pihak berwenang untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi janji, tetapi kenyataan bagi Lutrianto dan semua anak-anak Indonesia.
(R. M Hendra)