Sumenep, Kompason.com - Kapal-kapal patroli Polisi Perairan (Polair) Polres Sumenep teronggok tak berdaya, memicu badai pertanyaan dan kecurigaan akan praktik korupsi serta pengkhianatan amanat. Investigasi mendalam yang dilakukan Kompasone.com di wilayah Kalianget mengungkap fakta memilukan, tidak ada aktivitas patroli yang berarti, bertolak belakang dengan tanggung jawab vital Polair dalam menjaga kelestarian dan keamanan laut Sumenep.
Fakta ini bukan sekadar kelalaian. Ini adalah abai yang terstruktur, yang mengarah pada dugaan kuat terjadinya tindak pidana korupsi. Urat nadi operasional patroli, yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM), menjadi titik sentral kecurigaan. Apakah alokasi anggaran untuk BBM menguap tanpa pertanggungjawaban yang jelas?
Bagaimana dengan biaya operasional untuk Anak Buah Kapal (ABK), dan ke mana dana untuk jatah uang makan mereka mengalir jika kapal-kapal tersebut mangkrak? Jika tiga kapal Polair Polres Sumenep tidak beroperasi, ke mana anggaran operasional dan tunjangan ABK selama ini dialokasikan?
Potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sangat nyata.
Dugaan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, serta potensi kerugian negara akibat terabaikannya fungsi pengawasan dan pengamanan perairan, adalah isu serius yang tidak bisa diabaikan. Ini bukan sekadar masalah inefisiensi, tetapi sebuah skandal yang mengancam integritas institusi penegak hukum.
Respons Kasat Polair Polres Sumenep, AKP Rofiq, saat dikonfirmasi melalui aplikasi Whatsapp, semakin memperdalam kecurigaan. Alih-alih memberikan klarifikasi yang substantif, yang bersangkutan memilih untuk menghindar dengan alasan yang tidak relevan dengan urgensi permasalahan. Jawaban singkat dan defensif ini mengindikasikan adanya upaya untuk menyembunyikan sesuatu.
"Waalaikumsalam, mohon maaf mas sebelumnya, tapi pas olahraga kalau ada waktu nggih," ujar AKP Rofiq, sebuah respons yang tidak mencerminkan keseriusan situasi dan tanggung jawabnya sebagai seorang pejabat publik.
Penolakan untuk memberikan keterangan yang transparan dan akuntabel adalah sebuah preseden buruk dan dapat diinterpretasikan sebagai obstruction of justice, yaitu upaya menghalang-halangi proses penegakan hukum dan menghambat tugas pers dalam melakukan kontrol sosial. Tindakan ini juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin hak wartawan untuk mencari dan menyebarluaskan informasi.
Masyarakat Sumenep, terutama mereka yang menggantungkan hidupnya pada laut, berhak mendapatkan jawaban yang jujur dan menyeluruh. Lebih dari sekadar penjelasan, diperlukan tindakan konkret berupa audit investigasi yang mendalam dan komprehensif terhadap alokasi anggaran operasional Polair Polres Sumenep. Transparansi dan akuntabilitas adalah harga mati yang tidak bisa ditawar.
Jangan biarkan praktik korupsi dan pengkhianatan amanat terus menggerogoti institusi kepolisian dan merusak kepercayaan publik. Aparat penegak hukum, termasuk Propam Polda Jawa Timur, harus bertindak tegas dan tanpa pandang bulu untuk mengungkap kebenaran dan menyeret para pelaku ke meja hijau. Mangkraknya kapal patroli bukan hanya sebuah kelalaian, tetapi sebuah kejahatan serius yang berpotensi merugikan negara dan masyarakat secara luas.
(R. M Hendra)