Karimun-Kepulauan Riau, kompasone.com- (opini)
Isu dahsyat dengan keaslian ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali membuming ke ruang publik dengan intensitas tinggi, diseantero nusantara. Meskipun masa jabatan beliau telah berakhir dua periode sebagai nomor satu di indonesia, namun isu dugaan ijazah palsu ini kerap menghiasi media sosial hingga panggung politik, perdebatanpun mengenai apakah ijazah Jokowi sah atau tidak kembali menjadi konsumsi publik yang menyita perhatian luas.
Di tengah keberlanjutan pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, isu ini tidak hanya menjadi pertarungan fakta, tetapi juga menjadi alat tarik-menarik kepentingan yang lebih besar kekuasaan, moralitas, dan rekonsiliasi kebangsaan.
Uniknya, mengapa narasi ini terus diangkat meski pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menegaskan bahwa Joko Widodo adalah alumni sah mereka? Apa yang mendorong sebagian pihak untuk kembali meragukan keabsahan dokumen yang telah diverifikasi oleh lembaga-lembaga negara, bahkan Jokowi sudah purna tugas menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI, dan dua periode sebagai Presiden?
Saya Lamhot JF Naibaho, sebagai penulis, sedikitpun tidak bermaksud memihak, tetapi menyajikan analisis obyektif dan multidimensional terhadap motif-motif di balik penggiringan opini tersebut. Dengan memperhatikan dinamika politik, sosial, ekonomi, hingga psikologis masyarakat, kita akan mencoba memahami mengapa isu ini tetap hidup dan berkembang.
Apakah ini sekadar bentuk ekspresi ketidakpuasan, para elit politik anti jokowi atau ada misi tersembunyi yang mengintai di balik tatanan demokrasi kita?
Di tengah keresahan publik hal ini berpotensi menciptakan kegaduhan yang berkepanjangan, karena itu kita penting untuk membedah fenomena ini secara jernih, agar bangsa ini tidak terus-menerus dikuras oleh isu yang mengaburkan esensi kebangsaan dan masa depan yang seharusnya dirangkai dalam kedamaian dan persatuan.
Dalam dunia politik, isu adalah senjata, dan waktu adalah pelatuknya. Isu ijazah palsu yang menimpa mantan Presiden Joko Widodo muncul kembali bukan sekadar sebagai bentuk kritik terhadap personal, tetapi lebih sebagai alat untuk mendeligitimasi simbol kekuasaan yang masih memiliki jejak pengaruh kuat dalam lanskap politik nasional.
Pasca Pilpres 2024, peta kekuatan politik mengalami pergeseran yang underlee, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, menjadi Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto. Meskipun Jokowi telah purna tugas, afiliasi politik dan jejak kekuasaannya masih beresonansi dalam pemerintahan baru.
Dalam konteks inilah, isu keaslian ijazah kembali dilempar ke publik sebagai amunisi politik untuk menyerang kredibilitas warisan Jokowi, serta memperlemah pengaruh jaringan kekuasaan yang mungkin masih eksis.
Motif delegitimasi ini tampak dari pola komunikasi yang digunakan dan narasi disebar melalui media sosial, blog pribadi, konten YouTube, bahkan oleh sebagian tokoh yang mengklaim sebagai akademisi atau pegiat hukum. Mereka mengangkat keraguan terhadap proses verifikasi dokumen, menyoal waktu kuliah, gaya tanda tangan, hingga foto wisuda.
Meski tidak ada temuan hukum yang valid yang mengindikasikan pemalsuan, opini terus dipelihara dan dikuatkan oleh framing-framing yang meragukan institusi pendidikan, pemilu, dan otoritas negara.
Lebih jauh, isu ini dipolitisasi untuk membelah persepsi masyarakat. Tujuannya tidak semata membuktikan kebenaran, tetapi menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap legitimasi pemerintahan, baik yang lama maupun yang sedang berjalan.
Delegitimasi di sini bukan lagi semata pada pribadi Jokowi, tetapi juga terhadap sistem yang meloloskannya sebagai pemimpin nasional dua periode. Ketika kepercayaan terhadap sistem runtuh, maka krisis legitimasi akan menjalar ke berbagai sendi kehidupan berbangsa.
Selain itu, motif destabilisasi menyusup melalui penggiringan opini yang bersifat masif dan sistematis. Ketika publik disibukkan oleh wacana ijazah, perhatian terhadap isu-isu besar seperti transisi pemerintahan, keberlanjutan pembangunan, atau penegakan hukum bisa teralihkan.
Kondisi ini dapat menciptakan kebisingan politik yang menguntungkan aktor-aktor yang tidak ingin melihat stabilitas pasca pemilu tercipta dengan damai.
Maka, meskipun tidak semua pihak yang menyuarakan isu ini bermotif politis, kita tidak bisa menutup mata bahwa di balik kegaduhan yang tampak spontan dan emosional, ada tangan-tangan yang memanfaatkan momen ini untuk menggeser arah opini publik demi kepentingan kekuasaan atau sebagai strategi tekanan terhadap aktor-aktor elite.
Dengan kata lain, narasi "ijazah palsu" bukanlah sekadar soal legalitas administratif, tetapi telah menjelma menjadi instrumen politik bernuansa tinggi, yang dimainkan dalam panggung kontestasi kuasa dan kendali narasi nasional.
Di luar motif politis yang bernuansa kekuasaan, ada pula pihak-pihak yang mengangkat isu keaslian ijazah Presiden Joko Widodo dari sudut pandang moral dan etika publik. Mereka berargumen bahwa seorang pemimpin nasional, apalagi presiden dua periode, harus terbuka dan siap mempertanggungjawabkan setiap aspek penting dalam perjalanan kariernya, termasuk latar belakang pendidikan.
Bagi kelompok ini, pertanyaan tentang keaslian ijazah bukan semata-mata karena ingin menyerang pribadi Jokowi, melainkan bentuk dari check and balance masyarakat terhadap para pemimpin. Mereka meyakini bahwa akuntabilitas pejabat publik harus berlangsung seumur hidup, bahkan setelah ia tak lagi menjabat, sebagai bagian dari warisan integritas yang akan dikenang dan dijadikan contoh. Saatnya indonesia tanggap akan sistem.perpolitikan yang kondusif.
(Penulis : Lamhot Jhon Frobel Naibaho SPd./ Sek DPD AMB Kabupaten Karimun/ Wartawan Kompasone.com)