Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Kios Pupuk Bersubsidi Terindikasi Khianati Mandat Negara dengan Modus Toleransi Harga

Selasa, April 29, 2025, 20:13 WIB Last Updated 2025-04-29T13:13:52Z


Sumenep, Kompasone.com – Aroma busuk praktik rente kembali menyeruak di sektor pertanian Kabupaten Sumenep, kali ini berpusat di Kecamatan Pragaan. Alih-alih menjadi garda terdepan dalam menyalurkan pupuk bersubsidi sesuai amanat pemerintah, sejumlah kios pupuk di wilayah ini justru terindikasi melakukan praktik kartel harga dengan dalih "toleransi," sebuah modus operandi yang secara telanjang melukai asas keadilan bagi para petani yang notabene merupakan tulang punggung ketahanan pangan daerah.


Laporan eksklusif dari lapangan mengungkap bahwa para pemilik kios pupuk di Kecamatan Pragaan secara terang-terangan memberlakukan harga jual pupuk bersubsidi yang melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan secara rigid oleh pemerintah. 


Dengan "arogan" menaikkan harga Urea sebesar Rp.150 per kilogram dan NPK sebesar Rp.100 per kilogram, para pengusaha kios ini mempertontonkan praktik transaksional yang jauh dari etika bisnis dan kepatuhan terhadap regulasi negara.


Keterangan (AD), seorang Ketua Kelompok Tani di Kecamatan Pragaan, menjadi representasi kekecewaan mendalam para petani. "Aturan kios memasang harga pupuk subsidi tidak sesuai HET yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Harga yang lebih tinggi dari HET ini sangat memberatkan kami sebagai petani. 


Alasan menaikkan harga dengan modus ongkos kuli sangat tidak masuk akal dan mencederai hak kami," ujarnya dengan nada getir, Sabtu (26/4/2025). Pernyataan ini bukan sekadar keluhan individual, melainkan manifestasi dari ketidakberdayaan petani di hadapan praktik oligopoli yang merugikan.


Ironisnya, pemilik salah satu kios di Kecamatan Pragaan, Anwari, mencoba berkelit dengan narasi "kesepakatan bersama" dengan kelompok tani sebagai justifikasi atas praktik penggelembungan harga ini. "Itu bukan aturan atau kebijakan kios, melainkan kesepakatan bersama sebagai bentuk toleransi dari semua kelompok tani, karena untuk mengangkut pupuk itu tidak mudah, masih mengangkat dan ditimbang sehingga butuh tenaga dan modal," kilahnya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Sabtu (26/4/2024).


 Alasan ini sungguh absurd dan mengindikasikan adanya potensi praktik moral hazard di mana pemilik kios memanfaatkan posisi dominannya untuk membebankan biaya operasional yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka kepada para petani.


Lebih lanjut, Anwari mengklaim adanya "berita acara" yang disebarkan kepada kelompok tani sebagai legitimasi kesepakatan tersebut, sembari menekankan bahwa tidak ada unsur paksaan di dalamnya. 


Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: dalam relasi kuasa yang timpang antara pemilik modal (kios) dan petani yang seringkali berada dalam kondisi ekonomi yang sulit, dapatkah "kesepakatan" semacam itu dianggap benar-benar sukarela dan tanpa tekanan implisit? Klaim bahwa praktik ini hanya berlaku pada tahun 2024 semakin memperkuat dugaan adanya praktik spekulasi dan pengambilan keuntungan di luar batas kewajaran.


Pernyataan Anwari yang menyatakan bahwa pihaknya tidak mengabaikan kebijakan pemerintah karena adanya "kesepakatan bersama" adalah sebuah logical fallacy yang menyesatkan. Kebijakan HET pupuk subsidi adalah instrumen negara untuk melindungi petani dari praktik eksploitatif dan memastikan ketersediaan input pertanian dengan harga terjangkau.


 "Kesepakatan" di tingkat lokal yang secara nyata melanggar regulasi nasional tidak memiliki validitas hukum dan justru mengindikasikan adanya potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Persaingan Usaha yang Sehat serta penyalahgunaan wewenang dalam penyaluran barang bersubsidi.


Aktivis pemerhati kebijakan publik, Rasid, yang mendapatkan informasi langsung dari petani yang merasa dirugikan, mengecam keras praktik "nakal" para pemilik kios ini. Tindakan menaikkan harga pupuk subsidi secara sepihak, dengan modus "toleransi" yang tidak transparan dan akuntabel, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah pemerintah dan mencederai hak-hak petani sebagai penerima manfaat subsidi. Rasid berencana untuk menyalurkan aspirasi para petani yang terluka ini pada Rabu, 30 April 2025, sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik yang menodai program strategis pemerintah.


Kasus di Kecamatan Pragaan ini harus menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Praktik "toleransi" harga pupuk subsidi yang disinyalir melibatkan kesepakatan antara pemilik kios dan kelompok tani patut diinvestigasi secara mendalam. 


Aparat kepolisian, khususnya Satgas Pangan, perlu turun tangan untuk membongkar potensi praktik kartel harga dan dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penyaluran pupuk bersubsidi. Jika terbukti adanya pelanggaran, tindakan hukum tegas harus diterapkan sebagai efek jera dan untuk memulihkan kepercayaan petani terhadap program pemerintah.


Negara hadir bukan untuk memberikan ruang bagi praktik transaksional yang merugikan rakyat kecil dengan dalih "toleransi" yang ambigu. Pupuk bersubsidi adalah instrumen kebijakan publik yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani. Setiap upaya untuk membelokkan tujuan mulia ini, apalagi dengan modus operandi yang terkesan sistematis, harus ditindak secara tegas. 


Kejadian di Pragaan adalah noda hitam dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan dan menuntut respons cepat dan terukur dari para pemangku kebijakan. Keadilan bagi petani harus ditegakkan, dan praktik "toleransi" harga yang merugikan harus dihentikan tanpa kompromi.


(R. M Hendra)

Iklan

iklan
iklan