Jakarta, Kompasone.com - RENTETAN kasus gratifikasi yang dilakukan banyak oknum hakim belakangan ini sangat memalukan dan mencoreng wajah pengadilan Indonesia, yang diharapkan turut serta membasmi tindak pidana korupsi, justru malah bertindak sebagai pelaku kejahatan tersebut.
Demikian ditegaskan advokat senior sekaligus pernah menjadi anggota DPR RI di Komisi Hukum (sekarang Komisi III) periode 1999–2004, H. Didi Supriyanto, SH, M.Hum, terkait kasus dugaan suap ekspor bahan baku minyak goreng (Crude Palm Oil/CPO) senilai Rp. 60 miliar yang melibatkan hakim Muhammad Arif Nuryanta, yang saat ini sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Adapun kasus tersebut terjadi ketika dia masih menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
“Untuk kasus suap melibatkan ketua pengadilan, tiga bulan sebelumnya pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono, terkait putusan bebas terdakwa Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan. Tiga hakim yang mengadili juga di gelandang, seperti halnya tiga hakim kasus suap di PN Jakpus,” papar Didi tentang oknum hakim nakal, kepada wartawan, Senin (21/4/2025).
Bisa dibayangkan, lanjut dia, sudah sebegitu rusaknya moral hakim di negeri ini. Dalam kurun waktu hanya tiga bulan, dua ketua pengadilan dan enam hakim ditangkap. Ini sesuatu yang sangat memprihatinkan di dunia peradilan Indonesia.
“Sebagai praktisi hukum, saya sangat menyesali keterlibatan ketua pengadilan, pimpinan tertinggi di suatu pengadilan, hasil penunjukan dari Mahkamah Agung (MA). Jabatan ini biasanya disematkan kepada hakim yang berintegritas tinggi, cakap kinerja, baik dan jujur dalam bertugas. Tapi faktanya, tidak sedikit manusianya melakukan tindakan tercela, menjual jabatan,” urai Didi lebih jauh.
Menurutnya, tindak pidana yang dilakukan oknum hakim nakal bisa terjadi karena pengawasan yang dilakukan MA dan Komisi Yudisial (KY) lemah.
“Seharusnya ini adalah merupakan tugas KY sebagai pengawas perilaku hakim, mengingat lembaga ini memiliki regulasi dalam hal pengawasan hakim. Ada beberapa peraturan dan perundangan yang menjadi bagian dari keharusan tugas KY jika dibandingkan dengan MA dalam hal pengawasan terhadap hakim,“ sebut Didi.
Di antaranya, lanjut advokat ini, peraturan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang dibuat bersama MA, UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, Peraturan KY No. 3 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pemantauan dan Pengawasan Perilaku Hakim, Peraturan KY No.5 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penanganan Dugaan Pelanggaran KEPPH.
Ditambahkan Didi, dengan ketentuan hukum itu seharusnya KY melakukan pengawasan ketat para hakim, serta dapat memberikan sanksi keras terhadap para pelanggarnya. Namun sejauh ini KY hampir tidak pernah melakukan sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan tersebut.
“Sebagai anggota dewan, saya turut membidani lahirnya KY pada 13 Agustus 2004 (kiprahnya mulai 2 Agustus 2005), lembaga yang dibentuk di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini bertujuan mengawasi secara langsung prilaku hakim, baik dalam keseharian sampai dengan kekuasaan untuk memutus perkara,” ungkap Didi.
Diingatkan, idealnya harapan dibentuknya lembaga tersebut, adalah ketika seorang hakim kedapatan melakukan tindakan tidak terpuji, maka KY dapat menjatuhkan sanksi berat agar membuat jera hakim lainnya.
Dalam konteks ini, menurut Didi, KY harus diberi kewenangan yang tepat, mulai dari pengawasan prilaku hakim hingga ketika menggunakan kekuasaannya dalam memberikan keputusan atau vonis.
Namun begitu, KY harus melakukannya secara tertutup, untuk menghindari kesan KY mencari populeritas kewenangan memberikan sanksi keras hingga pemecatan dari jabatan hakim.
“Dengan adanya tindakan tegas KY, selaku pengawas dan pemberi sanksi hakim, maka diharapkan kalangan hakim menjadi takut dan berpikir sejuta kali untuk melakukan pelanggaran hukum. Begitu pula di dalam keseharian hakim akan berjalan dengan baik, sebagaimana diharapkan,” kata Didi.
Namun, lanjutnya, dengan pengawasan dan sanksi lemah yang diterapkan KY saat ini, tak terbantahkan lagi bermunculan oknum hakim yang semakin berani melakukan penyimpangan untuk menjalani kehidupan hedon dengan menjual harga dirinya.
“Bayangkan saja, ini menurut catatan, dalam kurun waktu 13 tahun terakhir ini ada sekitar 29 hakim ditangkap dan diproses hukum. Ya, inilah dampak dari lemahnya lembaga yang mengawasi perilaku hakim,” ujar Didi.
Disarankan, sebaiknya perlu menata kembali sistem pengawasan terhadap perilaku hakim, serta perkuat KY bukan hanya sebatas mengeluarkan rekomendasi, tapi juga dapat menjatuhkan sanksi terhadap penyimpangan dan pelanggaran KEPPH. Sedangkan MA diberdayakan untuk pengawasan teknis dan administratif.
“Sudah saatnya elemen masyarakat bersama lembaga yang konsen terhadap permasalahan hukum untuk melakukan pengawasan terhadap hakim, jaksa, polisi serta instansi lain yang terkait dengan proses penegakan hukum,” pungkas Didi.
(Novian Indrianto)