Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Apa yang Terjadi Ketika Kebutuhan Bertabrakan dengan Kelestarian Lingkungan

Sabtu, Maret 22, 2025, 03:53 WIB Last Updated 2025-03-21T20:53:46Z


Sumenep, Kompasone.com - Opini - Diskursus mengenai keberadaan tambang galian C di Kabupaten Sumenep kembali mencuat, memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat. Di satu sisi, kebutuhan akan material urugan untuk pembangunan infrastruktur, baik oleh pemerintah maupun swasta, tidak dapat diabaikan. Pembangunan gedung dewan yang megah, misalnya, menjadi bukti nyata ketergantungan pada hasil galian C. Namun, disisi lain, praktik penambangan yang tidak terkendali berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah.


Fenomena "petak umpet" antara pelaku galian C dengan oknum pejabat pemerintah menjadi sorotan tajam. Dugaan praktik ilegal ini mencoreng citra penegakan hukum dan menimbulkan ketidakadilan di tengah masyarakat. Sementara itu, keberanian sebagian pelaku yang beroperasi secara terang-terangan mengundang tanda tanya besar mengenai efektivitas pengawasan dan penindakan.


Ironisnya, di tengah ramainya polemik galian C, praktik ilegal lain seperti pabrik rokok bodong dan tambak udang tanpa izin justru luput dari perhatian. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai konsistensi penegakan hukum di Kabupaten Sumenep. Mengapa fokus hanya tertuju pada galian C, sementara praktik ilegal lain dibiarkan merajalela?


Jika pemerintah daerah serius ingin memberantas praktik ilegal, maka tindakan tegas harus diambil secara menyeluruh dan adil. Penutupan tambang galian C harus diikuti dengan penertiban pabrik rokok bodong dan tambak udang ilegal. Jangan sampai ada kesan tebang pilih dalam penegakan hukum.


Namun, perlu diingat bahwa penutupan tambang galian C akan berdampak signifikan pada sektor konstruksi. Ketergantungan pada material urugan dari luar daerah akan meningkatkan biaya pembangunan secara drastis, mencapai Rp 1.300.000 per rit. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu mempertimbangkan solusi alternatif yang lebih berkelanjutan, seperti pemanfaatan material daur ulang atau teknologi konstruksi yang ramah lingkungan.


Di tengah polemik ini, muncul ironi lain, yaitu ketidakberdayaan "Dewan anak raja tambang" dalam mengatasi masalah galian C. Hal ini menambah keraguan masyarakat terhadap komitmen pemerintah daerah dalam menyelesaikan persoalan ini.


Sejak zaman Nabi Adam, pembangunan memang membutuhkan material urugan. Namun, bukan berarti praktik penambangan harus dilakukan secara serampangan dan merusak lingkungan. Pemerintah daerah harus mampu menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan dan kelestarian lingkungan.


Polemik galian C di Sumenep ini menjadi ujian bagi pemerintah daerah dalam menegakkan keadilan dan melindungi lingkungan. Masyarakat menuntut tindakan nyata, bukan sekadar retorika.


(R. M Hendra)

Iklan

iklan
iklan