Jakarta,kompasone.com - LSM Kodat86 mempertanyakan pemberian Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan penetapan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) dalam wilayah Geopark Nasional di Natuna oleh Menteri dan Gubernur Kepri.
Puluhan perusahaan tambang mendapatkan IUP dan WIUP, namun sejauh ini baru beberapa perusahaan yang melakukan eksplorasi pasir kuarsa. Salah satunya PT. Indoprima Karisma Jaya (IKJ) yang sudah melakukan ekspor pasir kuarsa ke Cina.
Bupati Natuna, WAN Siswandi menegaskan bahwa Natuna akan mengekspor pasir kuarsa sebanyak sejuta metrik kubik ke Cina. Natuna sendiri hanya mendapatkan PAD dari tambang tersebut sebesar Rp. 13 miliar.
"Pertanyaan besarnya bagaimana mungkin dalam wilayah Geopark Nasional, itu menjadi daerah yang dilindungi, bisa diterbitkan IUP dan WIUP oleh Gubernur Kepri maupun Menteri ESDM. Saya pikir ini harus dikonfirmasi ulang karena wilayah Geopark tidak boleh ada aktivitas tambang ada perlu ijin khusus." kata Ketua LSM Kodat86, Cak Ta'in Komari SS kepada media Rabu (2/10).
Menurut Cak Ta'in, pemerintah harus memberikan penjelasan secara gamblang terbitnya IUP dan WIUP di wilayah geopark nasional itu. Meskipun Perda RTRW telah direvisi dan disesuaikan dengan penetapan wilayah tambang tersebut namun terkesan dipaksakan.
"Seharusnya ijin yang keluar mengikuti ketentuan RTRW yang ada, bukan sebaliknya kebijakan baru diikuti penyesuaian kebijakan lama. Itu sama kayak menghalalkan segala cara." ujarnya.
Lebih lanjut Cak Ta'in menekankan perlunya evaluasi pelaksanaan tambang dan ekspor pasir kuarsa tersebut, mengingat kegiatan tambang hampir selalu menyisakan masalah kerusakan lingkungan, apalagi ini diberikan di wilayah geopark nasional yang dilindungi.
"Jangan hanya sekedar melihat potensi PAD saja, tapi pikirkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan pascatambang nantinya. Biaya rehabilitasi lingkungan itu sangat mahal, tidak sesuai dengan pendapatan. Kita juga belum tahu ada tidaknya dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi lingkungan dari perusahaan tambang tersebut," urainya.
Lebih lanjut Cak Ta'in menjelaskan, beberapa pulau di Kabupaten Natuna berpotensi akan tenggelam dan hilang jika dieksploitasi secara ngawur dan besar-besaran. Natuna sendiri akan kesulitan kalau mau melakukan reklamasi dan rehabilitasi lingkungan akibat pengerukan pasir kuarsa. Konsekuensi dilakukan aktivitas tambang pasti terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan.
"Masalah ekspor pasir kuarsa juga dipertanyakan? Apa benar Kementerian Perdagangan memberikan kuota ekspor tersebut? Mengingat kebutuhan pasir kuarsa dalam negeri juga tinggi. Beberapa perusahaan kaca dan bata ringan cukup kesulitan sehingga harus dipenuhi dengan pertambangan ilegal. Jadi kalau ada daerah yang bisa memberikan ijin tambang pasir kuarsa, mengapa harus diekspor." Jelasnya.
Untuk itu, lanjut Cak Ta'in, pihaknya akan segera bersurat ke Kementrian Perdagangan soal kuota ekspor, sekaligus mengajukan permohonan rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI. "Mumpung mereka baru dilantik jadi semangatnya untuk bekerja masih tinggi. Dalam beberapa hari ke depan struktural pasti sudah diisi personalnya," pungkasnya.
Persoalan tambang pasir kuarsa juga terjadi di Lingga. Di mana ekspor pasir kuarsa ke Cina terjadi di tengah moratorium Gubernur Kepri Ansar Ahmad yang belum tuntas. "Pertambangan di Kepri ini seperti gurita, sulit diberantas - kalau pengambil kebijakan belum terjerat masalah hukum. Setidaknya ada aspek jera bagi pejabat baru ke depannya. Ini juga melengkapi masalah dana DJPL pascatambang Bintan yang masih mengendap di KPK," tambah Cak Ta'in.
( Team )