Sumenep, Kompasone.com - Desa Rosong, Kecamatan Nonggunong, Kabupaten Sumenep, menjadi sorotan tajam akibat insiden kekerasan yang melibatkan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) bernama Sahwito, yang mengacaukan sebuah pesta pernikahan. Insiden ini memicu perdebatan sengit mengenai tanggung jawab hukum dan batas-batas pembelaan diri dalam kasus yang melibatkan individu dengan disabilitas mental. Kerugian material yang ditimbulkan diperkirakan mencapai puluhan juta rupiah, menambah kompleksitas permasalahan ini.
Menurut laporan yang dihimpun, Sahwito, yang diketahui memiliki riwayat gangguan jiwa, tiba-tiba mengamuk di tengah-tengah perayaan yang seharusnya penuh sukacita. Tindakan tak terduga ini tidak hanya mengganggu jalannya acara, tetapi juga menimbulkan ketakutan dan kepanikan di antara para tamu undangan dan warga sekitar. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian tersebut, masyarakat setempat berinisiatif melakukan tindakan preventif untuk mengendalikan Sahwito. Namun, tindakan ini kemudian memicu kontroversi hukum, setelah istri Sahwito melaporkan salah satu tuan rumah, Tolak Edi, atas dugaan tindak kekerasan terhadap suaminya.
Tolak Edi, dalam keterangan persnya, menegaskan bahwa tindakannya semata-mata didorong oleh upaya penyelamatan terhadap adiknya, Musahwan, yang saat itu berada dalam cengkeraman cekikan Sahwito. "Seandainya saya tidak melakukan intervensi pada saat itu, nyawa adik saya mungkin tidak dapat diselamatkan. Bahkan setelah saya berhasil melepaskan cengkraman tersebut, adik saya langsung tidak sadarkan diri akibat tekanan yang sangat kuat," ungkap Tolak Edi dengan nada penuh kekhawatiran. "Saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika saya dan orang-orang di sekitar terlambat bertindak. Hari itu mungkin akan menjadi hari terakhir adik saya menghirup udara segar."
Laporan yang diajukan oleh istri Sahwito memicu perdebatan etika dan hukum yang mendalam. Pertanyaan krusial muncul: apakah tindakan masyarakat dapat dibenarkan sebagai pembelaan diri yang sah, ataukah tindakan tersebut melampaui batas kewajaran dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku? Dalam kasus yang melibatkan ODGJ, penegakan hukum menghadapi tantangan unik, mengingat adanya potensi keterbatasan kapasitas mental individu yang bersangkutan.
Pihak berwajib diharapkan untuk melakukan pemeriksaan kejiwaan yang komprehensif terhadap Sahwito. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan kapasitas hukumnya dan sejauh mana ia dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Hasil pemeriksaan ini akan menjadi landasan penting dalam menentukan sanksi yang adil dan proporsional, jika Sahwito terbukti secara hukum melakukan tindak pidana.
Pada saat yang sama, tindakan masyarakat dalam merespons amukan Sahwito juga berpotensi menjadi objek penyelidikan hukum. Penting untuk menentukan apakah tindakan tersebut proporsional dengan ancaman yang dihadapi, dan apakah tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan preventif dan pembelaan diri yang sah menurut hukum. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) menjamin hak setiap warga negara untuk membela diri dalam situasi terancam. Namun, implementasi prinsip ini dalam kasus yang melibatkan ODGJ memerlukan interpretasi hukum yang cermat dan berkeadilan.
Ironisnya, di tengah proses hukum yang kompleks ini, pihak keluarga Sukilan, selaku penyelenggara pesta pernikahan yang mengalami kerugian materiil akibat insiden tersebut, merasa terabaikan. Asip Wijaya, anggota keluarga Sukilan, telah melaporkan Sahwito atas tindakan anarkis yang menyebabkan kerugian pada acara pernikahan tersebut. Namun, proses penanganan laporan ini dirasakan berjalan lambat dan tidak transparan.
"Saya tidak memahami maksud dari pihak Polsek Nonggunong," ujar Asip dengan nada frustrasi. Ia menceritakan kebingungannya terkait proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang terkesan tidak terkoordinasi dengan baik. "Kasus ini seperti bola salju yang terus menggelinding tanpa kejelasan arah. Laporan kami seolah-olah diabaikan, dan perhatian lebih terfokus pada pihak keluarga Sahwito," keluhnya.
Asip menambahkan, "Kompleksitas hukum dalam kasus ini menuntut kearifan dan kehati-hatian dari pihak berwajib. Mereka harus mempertimbangkan semua aspek yang relevan, termasuk kapasitas mental pelaku dan hak-hak korban. Tindakan pencegahan yang kami lakukan semata-mata didorong oleh keinginan untuk menjaga keamanan dan ketertiban bersama, bukan tindakan kekerasan yang tidak dapat dibenarkan."
Kasus ini diprediksi akan terus menjadi sorotan publik dalam beberapa hari mendatang. Masyarakat menuntut penanganan yang adil, transparan, dan bertanggung jawab dari pihak berwajib. Keseimbangan antara penegakan hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan pemahaman yang mendalam mengenai isu disabilitas mental menjadi kunci dalam menyelesaikan kasus ini secar komprehensif dan berilan.
(R. M Hendra)