Pamekasan, Kompasone.com - Dugaan Kriminalisasi terhadap advokat oleh oknum polres merupakan tindakan sewenang wenang yang tidak dapat diterima dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum.
Advokat memiliki hak untuk menjalankan tugasnya dengan bebas dan tanpa ancaman dari pihak manapun.
Contoh Modus Kriminalisasi Advokat. Yang tidak diperbolehkan. dan contoh Beberapa modus yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi advokat, misalnya :
Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang. Advokat ditangkap dan ditahan tanpa dasar hukum yang jelas.
Terus Penyitaan Barang Pribadi, Barang pribadi advokat, seperti laptop dan ponsel, disita tanpa alasan yang jelas.
Selanjutnya Penetapan Tersangka, Advokat ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan yang tidak berdasar.
Pengancaman dan Intimidasi, Advokat diancam dan diintimidasi untuk menghentikan pekerjaannya dalam tugasnya. Hal ini tidak boleh dilakukan.
Untuk langkah Langkah yang akan Dilakukan oleh Pengacara Petarung tunggal Akan mengatasi sehubungan dirinya yang sedang mengalami kriminalisasi oleh oknum, dijelaskan ada beberapa langkah yang dilakukan. Melaporkan kejadian tersebut kepada organisasi advokat, seperti Dewan Pengacara Indonesia (DPI) atau organisasi advokat lokal.
Pengacara kondang single fighter tersebut menjelaskan untuk Pencegahan Kriminalisasi Advokat beberapa langkah berikut, diantaranya :
Pendidikan Hukum: Meningkatkan pemahaman aparat penegak hukum tentang hak dan kewajiban advokat.
Dialog dan Komunikasi: Membangun dialog dan komunikasi yang baik antara advokat dan aparat penegak hukum.
Penguatan Profesi Advokat: Meningkatkan profesionalisme dan solidaritas di kalangan advokat.
Sumber Daya Di Bawah ini Akan Mengambil keputusan Apabila ada Advokat yang di Diskriminasi/Kriminalisasi
Dewan Pengacara Indonesia (DPI): https://dpnindonesia.or.id/
Lembaga Bantuan Hukum (LBH): https://lbih.hessen.de/
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBI): https://ylbhi.or.id/
Next : Dilansir dari Media Sahabat Kita Detikzone.id, Kasus dugaan kriminalisasi jahat terhadap Nenek Bahriyah (71) yang ditersangkakan pemalsuan SPPT belum tuntas, Polres Pamekasan, Madura, Jawa Timur kembali berulah melakukan dugaan konspirasi untuk mengkriminalisasi pengacara Ach. Supyadi, S.H., M.H yang getol mengawal kasus Nenek tua renta (Bahriyah) yang matanya kini telah mengalami kebutaan.
Ditengah viral-Nya dugaan kebobrokan penanganan kasus nenek tak berdosa yang dijadikan tersangka oleh Polres Pamekasan saat proses perdata kasus sengketa tanah berlangsung di Pengadilan, secara tiba tiba muncul laporan dugaan penggelapan menyasar sang pengacara.
Pengacara Ach. Supyadi, S.H., M.H dilaporkan oleh mantan kliennya ke Polsek Tlanakan yang kemudian diambil alih Polres Pamekasan.
Kini, pengacara Ach. Supyadi mendapat surat panggilan saksi ke- I Nomor : S.Pgl/432/VI/RES.1.11/2024/Satreskrim, tertanggal 12 Juni 2024 dari Polres Pamekasan, yang isi pokoknya adalah memintanya hadir menemui penyidik/penyidik pembantu atas nama Bripka Moh. Chairur Rahman dan tim di Ruang Unit I (Pidum) Satreskrim Polres Pamekasan.
Maka bersama ini kami sampaikan bahwa Laporan Polisi Nomor : LP/07/IV/2024/SPKT/POLSEK TLANAKAN/POLRES PAMEKASAN/POLDA JATIM, tertanggal 1 April 2024 yang sebelumnya ditangani oleh Polsek Tlanakan kemudian saat ini penanganannya diambil alih oleh Polres Pamekasan (DALAM BENTUK TIM) adalah masih erat hubungannya dengan tugas profesi kami selaku Advokat/Pengacara, yaitu uang honor surat kuasa yang dibayar sebagian pada saat kami melakukan persidangan di PTUN Surabaya maupun melaksanakan laporan/pengaduan ke Polda Jawa Timur dan Bareskrim Mabes Polri yang kemudian oleh Pelapor uang honor surat kuasa Advokat yang dibayar sebagian tersebut dianggap suatu penipuan dan penggelapan setelah ditekan untuk mengundurkan diri sebagai kuasa hukum (ada bukti rekaman saat pelapor menekan kami agar mengundurkan diri sebagai kuasa hukum),” kata Pengacara Ach. Supyadi.
Secara tegas pihaknya menyampaikan KEBERATAN ATAS SURAT PANGGILAN SAKSI KE I tersebut.
“Kami meminta agar proses laporan yang diduga untuk mengkriminalisasi kami dalam menjalankan profesi Advokat tersebut dihentikan atau di SP3,” tegasnya.
“Keberatan kami ini sangat beralasan secara hukum karena permasalahan yang dilaporkan adalah erat hubungannya dengan perkara yang pernah kami tangani berdasarkan surat kuasa profesi kami sebagai advokat dan hal tersebut seharusnya bukan dilaporkan ke kepolisian akan tetapi jika ada pihak yang merasa dirugikan maka seharusnya dapat mengadukan kepada Dewan Kehormatan Organisasi Advokat, karena status kami sebagai Advokat/Pengacara adalah tunduk dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Pasal 16 yang berbunyi bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan,” imbuhnya.
Hal itu juga dipertegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2023 yang berbunyi : Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
Kemudian Pasal 1 Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”) yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002,
yaitu :
“Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara Praktek ataupun sebagai konsultan hukum.” tuturnya.
(R.M Hendra)