![]() |
| Antonius Satria Hadi, PhD. |
Menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru), suasana penuh euforia biasanya mewarnai berbagai kampanye pemasaran. Diskon besar-besaran, konten bertema kemeriahan, serta ajakan untuk merayakan “indahnya liburan” tersebar di berbagai platform. Namun, di tengah keceriaan tersebut, ada sebagian masyarakat yang justru mengalami tekanan psikologis. Fenomena ini dikenal sebagai Holiday Blues, yakni kondisi emosional yang ditandai dengan perasaan cemas, hampa, kesepian, atau bahkan depresi ringan selama musim liburan.
Di Indonesia, fenomena ini masih kurang dibicarakan. Padahal, dampaknya bisa dirasakan oleh berbagai kelompok, mulai dari mahasiswa perantauan yang tidak bisa pulang, pekerja yang kehilangan pekerjaan, hingga masyarakat urban yang merasa tertekan oleh ekspektasi sosial atau ekonomi selama liburan. Dalam konteks bisnis dan pemasaran, Holiday Blues bukan sekadar fenomena psikologis, melainkan sinyal penting yang perlu disikapi secara strategis dan empatik oleh pelaku usaha.
Salah satu kekeliruan yang sering terjadi dalam strategi pemasaran di musim liburan adalah asumsi bahwa semua konsumen berada dalam suasana hati yang bahagia. Iklan yang menggambarkan keluarga harmonis berkumpul di meja makan, pasangan romantis menikmati liburan, atau orang-orang yang tersenyum sambil berbelanja bisa terasa menyakitkan bagi mereka yang justru mengalami kehilangan, kesepian, atau tekanan keuangan.
Hal ini menunjukkan bahwa pemasaran berbasis emosi (emotional marketing) tidak bisa hanya berfokus pada sisi positif semata. Untuk bisa menyentuh hati konsumen secara otentik, brand harus mampu memahami kompleksitas emosi yang muncul selama liburan, termasuk emosi negatif seperti kesedihan atau kecemasan.
Jika dikelola dengan pendekatan yang tepat, Holiday Blues justru bisa menjadi celah untuk membangun koneksi emosional yang lebih kuat antara brand dan konsumennya. Di sinilah pendekatan empathetic marketing menjadi sangat relevan. Pemasaran empatik adalah strategi yang menempatkan kebutuhan emosional konsumen sebagai prioritas, termasuk mengakui bahwa tidak semua orang merasa bahagia di musim liburan. Brand dapat menunjukkan kepedulian mereka melalui konten yang lebih inklusif. Di Indonesia, pendekatan seperti ini bisa menjadi diferensiasi kuat, mengingat masih banyak brand yang cenderung memilih narasi seragam dan terlalu optimistik selama Nataru.
Selain pendekatan komunikasi, ada peluang bisnis nyata dalam menyediakan produk dan layanan yang dapat membantu konsumen menghadapi holiday blues. Misalnya produk self-care seperti paket relaksasi yang dikemas untuk liburan, layanan konsultasi psikologis online dengan promosi khusus untuk musim liburan, pengalaman staycation dengan ketenangan alih-alih kemeriahan, atau bisa juga konten digital berupa podcast, video, maupun artikel yang mengangkat isu mental health selama liburan.
Dalam konteks Indonesia, di mana budaya “harus bahagia saat liburan” masih sangat kuat, kehadiran brand yang bisa memberikan alternatif narasi akan sangat diapresiasi oleh sebagian konsumen yang merasa terpinggirkan oleh standar sosial tersebut.
Brand yang sukses di era pemasaran digital bukan hanya mereka yang menawarkan diskon besar atau visual meriah. Konsumen saat ini menghargai brand yang autentik, empatik, dan memiliki keberanian untuk menyentuh isu-isu emosional yang nyata. Holiday Blues adalah salah satu ruang di mana bisnis bisa menunjukkan sisi manusiawinya, bukan hanya menjual produk tapi juga menjadi teman bagi konsumennya.
Pada akhirnya dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, diferensiasi bukan hanya soal harga atau fitur, tetapi juga soal kedekatan emosional. Dan musim liburan adalah saat yang tepat bagi brand di Indonesia untuk membuktikan bahwa mereka peduli bahkan terhadap mereka yang sedang tidak merayakan apa-apa.
Penulis:
Antonius Satria Hadi, PhD.
Dosen Entrepreneurial Marketing, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta
