Sumenep, Kompasone.com - Praktik "sumbangan" berkedok pungutan liar (Pungli) di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dasuk, Kecamatan Dasuk, Kabupaten Sumenep, memasuki titik klimaks yang semakin memuakkan. Alih-alih mengakui pelanggaran serius terhadap regulasi pendidikan, Kepala Sekolah (Kepsek) SMP Dasuk, yang diidentifikasi sebagai Eka, justru terkesan melancarkan aksi cuci tangan berbalut kepolosan yang dibuat-buat, mencoba berkelit dari jeratan dugaan maladministrasi dan Pungli yang jelas-jelas melanggar Permendikbud.
Kasus ini mencuat setelah sumber terpercaya membeberkan dua klaster penarikan dana yang secara terang-terangan melangkahi batas 'sukarela' yang diamanatkan regulasi.
1. Sumbangan" Fiktif Fasilitas: Penarikan dana untuk pengecatan dan dekorasi kelas dengan rentang nominal Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per kelas, serta kontribusi untuk perbaikan sanitasi. Penetapan rentang nominal ini, menurut Permendikbud No. 75 Tahun 2016 Pasal 10 Ayat secara fundamental MENGHAPUS SIFAT SUKARELA dan mengubahnya menjadi Pungutan Wajib.
2.Pungutan Bimbingan Khusus (Bimsus): Penarikan dana senilai Rp 30.000 per anak selama tiga bulan yang dialokasikan untuk guru Bimsus/TKA kelas 3. Tindakan ini merupakan pelanggaran tegas terhadap larangan memungut biaya bimbingan belajar di satuan pendidikan.
Ketika dikonfirmasi, Eka, Plt. Kepala Sekolah yang baru menjabat, menyajikan narasi yang terasa gamang dan penuh kontradiksi, mencoba memosisikan diri seolah-olah ia adalah korban dari sistem atau sekadar fasilitator kebaikan.
"Saya tidak memaksa untuk menyumbang dan tidak pernah menarget untuk menyumbang berapa, saya bilang se-ikhlasnya," ujar Ika, mencoba menepis tudingan penetapan nominal yang sudah telanjur diungkapkan sumber.
Klaim "se-ikhlasnya" ini langsung hancur di hadapan fakta adanya rentang nominal Rp 50.000 - Rp 100.000 per kelas yang didugakan. Apakah "se-ikhlasnya" memiliki batasan minimal yang ditentukan sekolah?
Ika melanjutkan pembelaannya dengan menunjuk Komite Sekolah yang selama ini diklaimnya "vakum," dan menyatakan inisiatifnya untuk menghidupkan kembali paguyuban. Namun, alih-alih menampilkan transparansi, pernyataannya justru memancing kecurigaan baru.
Pernyataan Kontroversial: terucap, Ika mengakui bahwa ia hadir di awal rapat wali murid untuk "meminta sumbangan" atas permintaan Komite. Namun, ia buru-buru menambahkan, "dan saya tidak mau memegang uang itu karena sangat riskan, setelah itu saya tidak ikut-ikut lagi setelah itu saya diam."
Sikap "lempar handuk" ini seolah ingin mengatakan bahwa dirinya telah melaksanakan tugas 'pembukaan' pungutan, namun sengaja menarik diri dari tanggung jawab pengelolaan dana. Ini adalah taktik klasik untuk melepaskan diri dari Delik Pungutan Liar, padahal sebagai pucuk pimpinan, ia adalah penanggung jawab tertinggi atas seluruh aktivitas keuangan dan administrasi di sekolah.
Ika, dalam keterangannya, bahkan mencoba mengalihkan definisi Pungli dengan argumen yang lemah: "kalau pungli setia bulan tetap tidak berbeda, tapi kalau sumbangan seiklasnya setia bulan berbeda beda tidak sama."
Logika ini menabrak semua kaidah hukum pendidikan! Sumbangan menjadi Pungutan Liar BUKAN karena rutin, melainkan karena DIPAKSA, DIATUR NOMINALNYA, dan MELANGGAR LARANGAN OLEH PENDIDIK/KOMITE.
Puncaknya, Ika mengakhiri sesi konfirmasi dengan dalih terburu-buru menghadiri rapat: "Dengan krasah krusuh seakan takut terlabat karena ada rapat, mengalihkan perhatian seakan dirinya tak bersalah."
Perilaku ini bukan cerminan Kepala Sekolah yang akuntabel, melainkan indikasi kuat upaya mengaburkan fakta dan menghindari pendalaman investigasi.
Publik Sumenep berhak tahu: Sampai kapan praktik haram Pungli berkedok sumbangan ini terus dibiarkan mendarah daging di ranah pendidikan, diiringi drama pengelakan dari pimpinan yang seharusnya menjadi teladan integritas?
(R. M Hendra)
