Sumenep, Kompasone.com - Polemik krusial terkait kelambanan respons Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Sumenep dalam menanggulangi disfungsi sistem distribusi air bersih di Desa Gunggung, Kecamatan Batuan, kini mencuat ke permukaan publik sebagai suatu pelanggaran serius terhadap hak asasi dasar masyarakat.
Lebih dari stengah bulan, defisit layanan vital ini telah memicu eskalasi kerugian, menjerat ratusan warga, khususnya kelompok kaum dhufa, dalam penderitaan yang tak terperikan.
Situasi di Gunggung bukan sekadar masalah teknis, ini adalah krisis kemanusiaan mikro yang menuntut intervensi cepat dan akuntabel. Sumber di lokasi, yang meminta anonimitas demi keamanan, memaparkan fakta yang mengusik nurani dan nalar. 4/11/25
"Air ini sudah stengah bulan lamanya dibiarkan. Pihak PDAM tidak satupun yang datang untuk menyelesaikan masalah ini." Ironisnya, muncul tandon air tak bertuan, sebuah solusi tambal sulam yang tidak jelas akuntabilitasnya mengindikasikan minimnya koordinasi dan perencanaan strategis dari otoritas pengelola.
Kebutuhan air, secara yuridis, adalah hak konstitusional yang fundamental. Frustrasi warga memuncak kala akses terhadap air untuk bersuci (wudhu), mandi, dan memasak terputus. "Kami ini bukan cuman butuh air minum, tapi kami butuh air untuk mandi dan sebagainya. Bagaimana coba ibadah butuh air untuk wudhu, masak butuh air, mandi butuh air," ungkap warga tersebut, menggarisbawahi keterkaitan esensial air dengan aspek religius dan keberlangsungan hidup sehari-hari.
Merespons kelalaian ini, Sunan Abimanyo, Sekretaris Jenderal Lembaga Bidik sekaligus Redaktur Media Detik Kota, melontarkan kritik keras dengan diksi yang tegas dan berbobot. 4/11/25
"Ini tidak bisa dibiarkan, karena menurut saya sudah keterlaluan. Masak PDAM sekelas Perusahaan Daerah tidak bisa mengatasi persoalan sepele. Saya sebagai putra daerah merasa ibah karena PDAM tidak bisa menyelesaikan kerusakan itu. Kasihan masyarakat, bagaimana hidup mereka jika ini dibiarkan," tegas Sunan Abimanyo, menyentuh inti dari prinsip pertanggungjawaban publik.
Sunan menekankan bahwa masyarakat tidak menerima layanan secara gratis; mereka adalah konsumen yang sah yang telah menunaikan kewajiban finansial.
"Masyarakat bayar, mereka tidak menerima gratis dari PDAM. Kalau PDAM tidak becus, mending ganti pimpinan. Ini soal jiwa, kasihan masyarakat menderita," pungkasnya. Pernyataan ini secara implisit menuntut pertanggungjawaban Direksi PDAM berdasarkan asas good corporate governance dan efektivitas pelayanan publik.
Kelambanan PDAM Sumenep ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan. Implikasi hukum dan moralnya jelas.
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang didirikan untuk melayani publik telah gagal menunaikan mandat sosial dan ekonominya. Tuntutan masyarakat untuk penyelesaian segera bukan hanya desakan, melainkan penegasan akan hak ganti rugi imateriil atas penderitaan dan kerugian waktu yang dialami.
Kini, bola panas berada di tangan Dewan Pengawas dan Direksi PDAM Sumenep. Kehadiran solusi ad-hoc seperti tandon misterius tanpa sosialisasi resmi justru menambah daftar pertanyaan terkait transparansi dan mekanisme tanggap darurat perusahaan.
Masyarakat Gunggung menunggu bukan sekadar perbaikan pipa, tetapi restorasi kepercayaan terhadap kinerja instansi vital ini.
(R. M Hendra)
