Sumenep, Kompasone.com - Sebuah manuver studi komparatif (konon berlabel 'staditur') yang digagas oleh Perkumpulan Kepala Desa Indonesia (PKDI) Sumenep menuju Ibu Kota Nusantara (IKN) mencuat ke permukaan dengan aroma yang lebih menyerupai pelesiran terselubung ketimbang kunjungan kerja yang berintegritas. Aktivitas yang dilakukan secara senyap dan mendadak ini tidak hanya menyajikan kontradiksi tajam terhadap semangat transparansi, tetapi juga memicu pertanyaan krusial mengenai prioritas anggaran dan relevansi visi kepala desa.
Gelombang keberatan dari internal kepala desa sendiri menjadi indikasi awal keganjilan ini. Salah seorang Kepala Desa, yang terpaksa melobi pinjaman finansial hingga Rp 15 juta—bahkan rela membayar kembali Rp 17 juta—hanya demi "tidak enak kalau tidak ikut," secara terang benderang mengungkap adanya tekanan sosial atau psikologis yang memaksa partisipasi, jauh dari motivasi pengembangan kapasitas yang otentik. Narasi "tidak enak" ini secara implisit menuding adanya koersi terselubung dalam agenda kolektif PKDI dan penyelenggara.
Kontras mencolok disampaikan oleh Kepala Desa lain yang menolak dipublikasikan namanya. Beliau secara intelektual menampik urgensi perjalanan ini:
"Kita ini sebagai kepala desa harusnya tidak usah repot-repot pergi stadytur ke IKN. Kalau pengen maju, setiap kepala desa suntik dana desa 1 miliar, baru bisa bergerak."
Pernyataan ini bukan sekadar keluhan finansial; ini adalah kritik berbobot yang menggeser fokus dari 'studi tur' yang mahal (Rp 10 juta per kepala) ke prioritas fundamental pembangunan yang berorientasi pada injeksi modal riil dan kebijakan strategis di tingkat desa. Ia secara lugas menegaskan bahwa kemajuan terletak pada individualitas dan political will masing-masing Kades untuk memanfaatkan instrumen dana yang sudah tersedia, bukan pada ritual ziarah pembangunan ke IKN.
Rasyid Nadyin, seorang aktivis dan Non-Governmental Organization (NGO) yang berfokus pada pengawasan kebijakan publik, melempar pukulan telak atas penyelenggaraan ini. Ia mempertanyakan motif di balik kerahasiaan agenda yang disiapkan mendadak sebulan sebelumnya dan kini hendak dieksekusi pada Rabu malam, 5 November 2025.
"Kenapa staditur tersebut dilakukan secara senyap seakan-akan hal ini tidak ingin diketahui publik... Ini sangat mengejutkan. Harusnya dipublikasi rencana dan tujuan biar publik tahu kabar baik ini, bukan malah diam-diam senyap."
Tudingan Rasyid mengarah pada kegagalan etika publik pihak penyelenggara dan khususnya Ketua PKDI Sumenep. Dengan biaya fantastis Rp 10.000.000 per orang, agenda ini harusnya menjadi monumen transparansi, bukan malah diselimuti kabut kerahasiaan yang memicu spekulasi buruk.
"Pemerintahan macam apa ini, momen sebesar ini dan sebagus ini kok malah disenyapkan pemberangkatan Rabu malam tanggal 5/11/2025."
Pernyataan ini memojokkan PKDI dan penyelenggara sebagai entitas yang terkesan ingin menghindar dari akuntabilitas. Jika tujuannya memang luhur untuk "mencari pengalaman baru" demi memajukan desa, mengapa PKDI justru memilih metode stealth (senyap) yang berpotensi mencederai kepercayaan publik?
Tampak jelas, kegiatan yang dibalut label "staditur" ini lebih mengarah pada pemenuhan agenda kelembagaan yang mengedepankan ritualitas politik ketimbang kebutuhan mendesak masyarakat desa. Biaya mahal dan kerahasiaan penyelenggaraannya merupakan indikasi patologis bahwa studi banding ini berpotensi menjadi proyek prestise, yang disokong oleh sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat desa.
Ketua PKDI Sumenep dan penyelenggara kegiatan berada di bawah sorotan tajam: Apakah prioritas mereka adalah pembangunan desa yang riil, atau pemenuhan hasrat perjalanan yang eksklusif dan tertutup?
Transparansi atas sumber dana dan hasil konkret dari "safari senyap" ini menjadi keharusan yang tak bisa ditawar lagi.
(R. M Hendra)
