Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

“Zina, Moral, dan Bukti: Antara Dosa Sosial dan Delik Hukum”

Minggu, Oktober 12, 2025, 18:15 WIB Last Updated 2025-10-12T11:16:02Z

Oleh: Zeana Diamanta


Pendahuluan: Antara Norma dan Fakta


Zina adalah kata yang sarat beban moral, sosial, dan keagamaan. Ia bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi juga dianggap dosa besar dalam hampir semua agama. Namun, ketika memasuki ranah hukum positif, perzinaan tidak lagi diadili berdasarkan rasa jijik moral masyarakat, melainkan melalui alat bukti dan konstruksi yuridis yang ketat.


Dalam konteks inilah muncul kesalahpahaman publik: banyak yang mengira kemesraan atau hubungan dekat antara dua orang dewasa sudah cukup untuk menuduh mereka berzina. Padahal, secara hukum, unsur pidana perzinaan sangat spesifik, terbatas, dan sulit dibuktikan.


1. Unsur Delik Zina dalam KUHP: Antara Fakta Fisik dan Status Perkawinan


Pasal 284 KUHP mendefinisikan perzinaan sebagai:


> “Hubungan badan antara pria dan wanita yang salah satunya atau keduanya terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain.”


Dari rumusan tersebut, terdapat unsur-unsur penting:


1. Terjadi persetubuhan (hubungan badan).


2. Dilakukan oleh pihak yang terikat perkawinan.


3. Atas dasar pengaduan dari suami atau istri yang sah.


Artinya, foto mesra, video, atau komunikasi romantis tidak memenuhi unsur pasal ini karena tidak membuktikan adanya hubungan badan (corpus delicti). Pembuktian zina hanya dapat dilakukan jika perbuatan itu tertangkap basah atau diakui secara sukarela oleh pelaku, karena unsur persetubuhan tidak bisa disimpulkan hanya dari gestur atau kedekatan.


2. Teori dan Doktrin Hukum: Pembuktian Zina sebagai Delictum Clandestinum


Dalam teori hukum pidana klasik, perzinaan disebut sebagai delictum clandestinum — kejahatan tersembunyi. Artinya, perbuatan itu berlangsung dalam kerahasiaan dan hampir mustahil dibuktikan tanpa keterlibatan langsung pelaku.


Menurut Van Bemmelen, dalam Het Nederlands Strafrecht, pembuktian terhadap delik semacam ini “hanya dapat dilakukan melalui pengakuan atau kejadian nyata yang disaksikan langsung.” Karena itu, KUHP pun menjadikannya delik aduan absolut, bukan delik umum.


Hal ini ditegaskan pula oleh Moeljatno, bahwa dalam tindak pidana perzinaan, pembuktian menjadi “berat dan sensitif, sebab berkaitan dengan martabat pribadi dan hak asasi seseorang.” Maka, hukum pidana tidak bisa bekerja hanya berdasarkan moralitas sosial atau penilaian subjektif masyarakat.


3. Perspektif Filsafat Hukum: Dari Dosa Moral ke Kesalahan Yuridis


Dalam kacamata filsafat hukum, perbedaan antara dosa dan kejahatan adalah inti dari negara hukum modern.

Hans Kelsen dalam Pure Theory of Law membedakan hukum dari moral: hukum adalah sistem norma yang dipaksakan oleh negara, sementara moral hidup dalam ruang batin manusia.


Maka, tidak setiap perbuatan yang dianggap berdosa secara moral bisa otomatis menjadi kejahatan secara hukum. Negara tidak mengadili dosa, melainkan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur normatif dalam undang-undang.


Perzinaan memang dosa dalam agama, tapi dalam konteks hukum positif Indonesia, ia hanya dapat dihukum bila memenuhi unsur yang diatur oleh KUHP. Dengan demikian, perasaan bersalah, foto mesra, atau kecurigaan publik tidak dapat menggantikan pembuktian hukum.


4. Dimensi Etika dan Perlindungan Hak


Membuka atau menyebarluaskan foto dan tuduhan zina tanpa dasar hukum justru dapat berpotensi melanggar hukum lain, seperti:


Pasal 27 ayat (1) UU ITE (pencemaran nama baik atau pelanggaran kesusilaan digital),


Pasal 310 KUHP (pencemaran nama baik),


bahkan bisa mengarah pada fitnah jika tuduhan tidak terbukti.

Artinya, upaya membuktikan zina tanpa bukti kuat justru berisiko menjadikan pelapor sebagai pelaku tindak pidana lain.

5. Penutup: Hukum Tidak Mengadili Dugaan, Melainkan Fakta


Zina, dalam ranah moral, adalah urusan antara manusia dan Tuhannya. Tetapi dalam ranah hukum, ia adalah persoalan pembuktian, bukan persepsi.

Hukum pidana tidak menghukum karena cemburu, rasa jijik, atau opini publik — melainkan karena adanya bukti sah dan meyakinkan.


Oleh karena itu, dalam semangat negara hukum, menuduh seseorang berzina tanpa dasar pembuktian yang kuat bukanlah bentuk keberanian moral, tetapi justru bentuk pembodohan hukum. Karena di hadapan hukum, yang berkuasa bukan suara yang paling keras, melainkan fakta yang paling benar.



Iklan

iklan