Sumenep, Kompasone.com- Gelombang wacana yang terus-menerus menjadikan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai target utama 'reformasi' dan 'kambing hitam' atas setiap defisit kepercayaan publik memicu reaksi keras dari akar rumput.
Sebuah suara penolakan tegas muncul dari putra daerah Sumenep, Madura, yang melihat narasi ini sebagai upaya destabilisasi kelembagaan yang berbahaya bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Kecaman tajam dilayangkan terhadap praktik-praktik politik yang disinyalir tidak berkelas dan mengambang (floating political agenda). Narasi publik yang sebelumnya menuntut pembubaran atau 'reformasi total' lembaga legislatif (DPR) kini secara tiba-tiba dialihkan secara masif menuju institusi Polri.
Pergeseran fokus yang drastis ini menimbulkan pertanyaan fundamental, Apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar politik Indonesia? Pola ini dicurigai sebagai manuver politisasi institusi penegak hukum yang tidak bertanggung jawab, dengan tujuan menjadikan Polri sebagai alat yang diperalat oleh kepentingan politik jangka pendek.
"Kami, sebagai rakyat daerah, menolak narasi reformasi yang dimotori oleh motif politik murahan. Rakyat hari ini sudah matang secara politik dan tidak lagi bodoh. Jangan jadikan Polri sebagai korban dari permainan politik kampungan yang bertujuan mengganggu stabilitas keamanan hanya demi perolehan elektoral atau kepentingan faksional," ujar sumber yang merupakan tokoh masyarakat Sumenep.
Penolakan ini bersandar pada premis bahwa penggerusan wibawa Polri secara sistematis hanya akan menciptakan vakum keamanan (security vacuum), yang secara langsung merugikan rakyat Indonesia yang mendambakan kepastian perlindungan dan ketertiban sipil. Institusi Polri, dengan segala kekurangan.
Di sisi lain, kritik terhadap kinerja Polri harus diimbangi dengan analisis beban kerja (workload analysis) dan kompensasi yang adil. Kritik intelektual menuntut agar tuntutan reformasi tidak hanya berkutat pada isu struktural dan etika, tetapi juga menyentuh aspek kesejahteraan personel.
Beban dan tanggung jawab yang diemban oleh anggota Polri, mulai dari ujung tombak Kamtibmas hingga penanganan kasus-kasus kompleks dan berisiko tinggi, adalah berat dan multidimensional. Kegagalan menaikkan gaji dan tunjangan yang proporsional dapat menjadi faktor dominan yang berkontribusi pada kerentanan moral dan koruptif.
"Sudah saatnya diskursus ini berbalik, alih-alih terus-menerus menuntut pembubaran atau reformasi yang mencekik, seharusnya negara memprioritaskan peningkatan kesejahteraan (remuneration) Polri. Gaji yang layak adalah prasyarat etika dan profesionalisme. Beban mereka sangat besar, dan negara wajib hadir untuk memastikan kompensasi setara dengan risiko yang mereka hadapi," tutup sumber tersebut.
Integritas institusi tidak dapat dipulihkan hanya dengan retorika reformasi yang kosong, tetapi harus didukung oleh dukungan kelembagaan yang kuat dan kesejahteraan personel yang memadai, yang pada akhirnya akan menjauhkan Polri dari godaan politik dan kepentingan non-prosedural. Masyarakat mendesak agar praktik politisasi institusi negara segera dihentikan demi kepentingan bangsa yang lebih luas.
(R. M Hendra)
