Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Pemberhentian Klinisi Berjejak Medis | Sebuah Imperatif Etika dan Keselamatan Publik

Selasa, Oktober 14, 2025, 11:57 WIB Last Updated 2025-10-14T04:57:25Z

 


Oleh : Rasyid Nadyien


Narasi ini bukan sekadar sorotan, melainkan sebuah tuntutan etis yang mendesak. Di tengah diskursus mutu pelayanan kesehatan, muncul sebuah ironi profesional di Kabupaten Sumenep, dugaan praktik seorang dokter di salah satu rumah sakit swasta yang tersemat riwayat perawatan signifikan oleh spesialis kejiwaan setempat.


Informasi yang meresap ke ruang publik mengindikasikan bahwa dokter tersebut pernah menjalani rawat inap, mendekati sepuluh hari, akibat kondisi depresif di fasilitas medis yang sama tempatnya bernaung. Adalah keniscayaan, bukan intensi untuk menelanjangi privasi personal, bahwa rekam jejak medis seorang klinisi yang melibatkan stabilitas mental memiliki resonansi krusial terhadap integritas profesi dan, yang terpenting, keselamatan khalayak pasien.


Fakta klinis semacam ini, sejatinya, harus ditempatkan sebagai episentrum perhatian otoritas regulasi dan etik kedokteran: Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Transparansi adalah matriks kepercayaan publik. Publik berhak atas jaminan bahwa tangan yang merawat mereka berada dalam kondisi prima, baik secara kognitif maupun psikis.


Jika klaim bahwa dokter yang bersangkutan telah dinyatakan 'layak' atau 'aman' untuk kembali berpraktik pasca-perawatan ini benar, maka mekanisme verifikasi yang mendasari keputusan tersebut haruslah melalui proses audit etik dan klinis yang paling ketat dan terbuka.


Ketiadaan mekanisme validasi yang imparsial ini, yang seyogianya mencakup penilaian komprehensif atas kemampuan judgement klinis dan daya tahan profesional bukan sekadar kelalaian. Ia merupakan potensi pelanggaran serius terhadap sumpah profesi dan Kode Etik Kedokteran, menempatkan rumah sakit dan setiap dokter pemberi rekomendasi dalam posisi rentan terhadap tuntutan akuntabilitas moral.


Saya, Rasyd Nadyien, berdiri tegak di atas prinsip ini. Keengganan atau kelambanan para pemangku otoritas etik IDI, MKEK, dan manajemen rumah sakit terkait dalam menginisiasi investigasi etik yang tajam, atau mengambil langkah preventif berupa penangguhan praktik sementara (suspensi) terhadap klinisi yang bersangkutan, akan direspons dengan pelaporan resmi kepada lembaga berwenang yang lebih tinggi.


Profesi kedokteran adalah pilar kemuliaan yang berdiri kokoh di atas fondasi kepercayaan absolut (fides) dan kemapanan mental yang tak tergoyahkan. Sikap yang benar dan etis tidak pernah dapat dikriminalisasi, namun pembiaran terhadap potensi risiko yang berasal dari kelemahan etik dan klinis adalah, pada hakikatnya, sebuah kejahatan moral yang tak termaafkan.


Integritas rumah sakit tidak boleh dipertukarkan dengan kompromi yang mengancam keselamatan dan well-being pasien demi kepentingan kelembagaan yang superfisial. Tuntutan kita adalah kejelasan, ketegasan, dan pertanggungjawaban profesional yang paripurna.

Iklan

iklan