Sumenep, Kompasone.com - Sebuah anomali hukum mencuat di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, yang mengundang tanya besar atas nalar sehat dan keadilan. Bagaimana mungkin seorang individu yang diduga kuat melakukan pembelaan diri dari agresi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) justru berbalik menjadi pihak terlapor? Inilah ironi pedas yang diungkapkan Asep, seorang mantan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sembilan hari pasca insiden mencekam pada 9 April 2025 di kediaman Sukilan.
Asep, melalui sambungan virtual, menyampaikan keheranan sekaligus kegeramannya atas laporan pihak keluarga Sahwito, sang ODGJ yang disebut-sebut membuat onar, kepada Polsek Nonggunong. Laporan tersebut menuduh Tolak Edi, individu yang bertindak sigap menyelamatkan saudaranya dari cengkeraman maut Sahwito, melakukan tindak penganiayaan. Undangan klarifikasi pun dilayangkan Polsek Nonggunong kepada Tolak Edi, dijadwalkan pada Selasa, 22 April 2025.
Tolak Edi, saat dikonfirmasi media ini pada 18 April 2025, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Dengan nada lugas, ia membeberkan kronologi kejadian.
"Saya heran betul, Mas Hendra. Jelas-jelas saya tidak melakukan penganiayaan. Saya hanya berusaha menyelamatkan nyawa saudara saya dari cekikan kuat Sahwito. Jika saya tidak bertindak cepat, mungkin saudara saya sudah meregang nyawa," ujarnya dengan nada getir. Pertanyaan retoris pun terlontar dari benaknya, "Apakah tindakan mencekik leher hingga berpotensi menghilangkan nyawa itu bukan termasuk dugaan penganiayaan dan percobaan pembunuhan?"
Lebih lanjut, Tolak Edi mengungkapkan percakapannya dengan Kepala Desa Talaga, Kecamatan Nonggunong, Fauzi, yang mengaku ditelepon langsung oleh Kasat Reskrim Polres Sumenep.
Pertanyaan Kasat Reskrim yang mempertanyakan ketidakmampuan kepala desa dalam menyelesaikan persoalan ini semakin menambah keruh suasana dan memunculkan spekulasi akan adanya intervensi yang tidak semestinya.
Asep, yang juga mengaku menjadi korban dari dugaan agresi Sahwito dan telah melaporkannya, menyoroti kejanggalan yang lebih fundamental. "Yang lebih mengagetkan, pihak Polsek Nonggunong menyatakan bahwa Sahwito itu waras! Kalau memang waras, mengapa bukan dirinya sendiri yang melaporkan dugaan penganiayaan, melainkan pihak keluarganya? Ini jelas memerlukan penanganan ahli kejiwaan untuk mengurai benang kusut permasalahan ini," tegas Asep dengan nada skeptis.
Pernyataan ini mengindikasikan adanya disparitas persepsi yang mencolok antara masyarakat yang menyaksikan perilaku Sahwito dan pihak kepolisian yang terkesan terburu-buru dalam menetapkan status kejiwaan.
Dalam perspektif hukum pidana, Asep, dengan latar belakang aktivisinya, memberikan pandangan yang tajam. "Jika tindakan ODGJ secara nyata dan langsung mengancam keselamatan fisik, maka hak untuk membela diri secara proporsional adalah hak yang melekat pada setiap individu. Kuncinya adalah proporsionalitas. Kekerasan yang digunakan harus sebanding dengan ancaman yang dihadapi," urainya dengan lugas.
Lebih jauh, Asep memberikan catatan penting terkait penanganan kasus yang melibatkan ODGJ.
"Untuk menyatakan seseorang tidak dapat dipidana berdasarkan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pembuktian yang kuat terkait gangguan jiwa pada saat terjadinya tindak pidana mutlak diperlukan. Keterangan ahli kejiwaan menjadi krusial dalam proses ini. Meskipun tidak dipidana, Pasal 44 ayat (2) KUHP memberikan kewenangan kepada hakim untuk memerintahkan pemasukan ODGJ ke rumah sakit jiwa maksimal satu tahun sebagai masa percobaan, demi melindungi baik ODGJ maupun masyarakat luas," ujarnya.
Asep juga menegaskan hak-hak korban dalam situasi yang paradoks ini. "Meskipun pelaku tidak dipidana karena alasan gangguan jiwa, korban tindak pidana, dalam hal ini dugaan pemukulan, tetap memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan berpotensi mengajukan tuntutan perdata untuk ganti kerugian."
Kasus ini menjadi preseden yang mengkhawatirkan. Apakah logika hukum akan mengalahkan akal sehat? Apakah upaya penyelamatan diri dari ancaman nyata justru akan berujung pada jeratan pidana? Masyarakat Sumenep, dan khalayak luas, menanti dengan seksama bagaimana aparat penegak hukum akan menimbang keadilan dalam pusaran ironi ini, dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan perlindungan terhadap hak asasi setiap individu, termasuk hak untuk membela diri.
Penanganan kasus ini akan menjadi ujian krusial bagi penegakan hukum yang berkeadilan dan berorientasi pada kebenaran materiil, bukan sekadar formalitas prosedural.
(R. M Hendra)