Dalam dunia industri, keawetan sebuah produk seringkali menjadi prestasi tersendiri bagi perusahaan di satu sisi, namun menjadi musibah terbesar bagi perusahaan di sisi lain, yang tidak jarang justru diibaratkan sebagai malaikat kematian yang sengaja dipanggil untuk mencabut nyawa perusahaan. Di satu sisi konsumen sangat puas dan bangga dengan keawetan dan kehandalan produk yang mereka konsumsi, namun di sisi lain perusahaan meregang nyawa karena angka penjualan yang terus menurun, kerugian sudah jelas terpampang di depan mata alih-alih memperoleh keuntungan dan pertumbuhan yang sustainable.
Semua itu bukan disebabkan karena produk yang jelek dan tidak bisa diandalkan sehingga tidak laku, bukan juga karena konsumen kecewa dan meninggalkan atau bahkan membenci lalu memboikot perusahaan, sama sekali bukan! Semua itu justru disebabkan karena produk yang terlalu bagus, terlalu awet, terlalu bisa diandalkan, sehingga konsumen cukup percaya diri untuk menghapus produk tersebut dari daftar belanja bulan depan atau bahkan tahun depan!
Lalu, bagaimana solusinya?
Dalam dunia pemasaran, Planned Obsolescence telah menjadi salah satu strategi yang paling efektif untuk mendongkrak angka penjualan secara signifikan.
Planned Obsolescence adalah strategi bisnis di mana desain dan pembuatan suatu produk sengaja direncanakan untuk membatasi masa pakainya yang berguna. Tujuannya adalah untuk mendorong konsumen membeli pengganti lebih cepat daripada yang seharusnya diperlukan secara fungsional, sehingga meningkatkan volume penjualan dalam jangka panjang.
Jenis-Jenis Planned Obsolescence:
1. Obsolescence of Function/Built-in Obsolescence (Keusangan Fungsi)
Produk dirancang dengan komponen yang akan aus atau gagal setelah periode atau hitungan penggunaan tertentu yang telah ditentukan.
Contoh:
a. Bola lampu pijar (Batas umur yang disengaja)
Pada tahun 1924, produsen bola lampu terbesar di dunia (termasuk Osram, General Electric, dan Philips) membentuk Kartel Phoebus. Mereka sepakat untuk secara kolektif mengurangi masa pakai rata-rata bola lampu dari sekitar 2.500 jam menjadi hanya 1.000 jam. Mereka bahkan mendenda perusahaan anggota yang produknya bertahan terlalu lama. Ini adalah contoh klasik keusangan terencana untuk meningkatkan penjualan berulang.
b. Baterai ponsel (Baterai non-ganti)
Banyak ponsel dirancang dengan baterai yang tertanam atau direkatkan, sehingga sulit atau mahal untuk diganti oleh pengguna. Ketika kapasitas baterai alami menurun setelah 1-2 tahun, pengguna didorong untuk membeli perangkat baru.
c. Printer (Chip penghitung cetakan)
Beberapa kartrid tinta printer memiliki chip kecil yang dirancang untuk mendaftarkan kartrid sebagai kosong setelah jumlah cetakan tertentu, meskipun sebenarnya masih ada sisa tinta. Ini memaksa pengguna untuk membeli kartrid baru lebih cepat.
d. Aparatus elektronik (Komponen rapuh)
Peralatan rumah tangga seperti mesin cuci atau kulkas seringkali dirancang dengan komponen plastik kecil yang rentan patah atau bagian elektronik yang terprogram untuk gagal sedikit setelah masa garansi berakhir.
2. Obsolescence of Desirability/Perceived or Style Obsolescence (Keusangan Keinginan)
Produk dibuat agar terlihat kuno atau tidak modis, meskipun masih berfungsi penuh.
Contoh:
a. Smartphone (Pembaruan model tahunan)
Perusahaan merilis model baru setiap tahun dengan sedikit peningkatan fungsi (misalnya, kamera yang sedikit lebih baik, warna baru) untuk membuat model tahun lalu terasa "kuno" dan mendorong pengguna untuk upgrade (meningkatkan).
b. Pakaian (Fast fashion)
Perusahaan pakaian secara konstan memperkenalkan gaya dan koleksi baru yang cepat berubah. Pakaian musim lalu dibuat terasa tidak modis atau outdated, mendorong pembelian pakaian baru secara berkelanjutan.
c. Mobil (Pembaruan estetika)
Produsen mobil secara teratur mengubah desain grille, lampu, atau interior sedikit demi sedikit. Mobil yang secara mekanis masih sempurna menjadi terasa tua di mata konsumen karena perubahan kosmetik ini.
3. Systemic Obsolescence (Keusangan Sistemik): Produk menjadi tidak kompatibel dengan sistem, perangkat lunak, atau aksesori yang lebih baru.
Contoh:
a. Ponsel/Tablet (Pembaruan Perangkat Lunak)
Perusahaan menghentikan dukungan perangkat lunak untuk model yang lebih lama, yang berarti perangkat tersebut kehilangan fitur keamanan, aplikasi baru, atau bahkan berjalan lebih lambat dengan versi OS yang lebih baru.
b. Kabel Pengisian Daya (Perubahan Konektor)
Perusahaan sering mengganti desain konektor atau port pengisian daya (misalnya, dari satu jenis USB ke jenis lain, atau konektor proprietary baru). Hal ini membuat aksesori dan kabel lama menjadi tidak berguna.
c. Game Console (Diskontinuitas Suku Cadang)
Setelah beberapa tahun, produsen dapat menghentikan produksi suku cadang atau menyediakan layanan perbaikan untuk konsol game lama. Ketika konsol rusak, satu-satunya pilihan konsumen adalah membeli model terbaru.
Planned Obsolescence adalah praktik yang sangat diperdebatkan karena dampaknya yang signifikan, diantaranya:
Dampak Ekonomi
1. Bagi Produsen: Memicu permintaan konsumen yang berkelanjutan, mendorong penjualan, dan meningkatkan keuntungan. Ini juga mendorong inovasi dan kemajuan teknologi (walaupun terkadang minimal).
2. Bagi Konsumen: Meningkatkan biaya jangka panjang karena konsumen terpaksa mengganti barang lebih sering. Ini juga dapat menciptakan kesulitan keuangan dan frustrasi konsumen.
Konsekuensi Lingkungan
1. Peningkatan Sampah: Konsekuensi yang paling dikritik adalah peningkatan besar dalam sampah, khususnya limbah elektronik (e-waste), yang merupakan aliran sampah dengan pertumbuhan tercepat secara global. Produk dibuang sebelum waktunya, memenuhi tempat pembuangan akhir.
2. Penipisan Sumber Daya: Siklus manufaktur yang konstan memerlukan ekstraksi berkelanjutan dari bahan mentah, termasuk mineral langka, yang menyebabkan penipisan sumber daya dan degradasi lingkungan (misalnya, polusi dari penambangan).
3. Konsumsi Energi dan Emisi Lebih Tinggi: Proses padat energi dalam pembuatan, pengiriman, dan pembuangan semuanya berkontribusi pada emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim.
Tindakan Balasan (Counter-Measures)
Untuk memerangi keusangan terencana, gerakan konsumen dan tindakan legislatif semakin mendapatkan momentum, seperti halnya:
1. Hak untuk Memperbaiki (Right to Repair): Undang-undang di beberapa wilayah (seperti Uni Eropa dan beberapa negara bagian AS) sedang diberlakukan untuk memaksa produsen menyediakan suku cadang, manual perbaikan, dan alat diagnostik bagi konsumen dan bengkel perbaikan independen.
2. Pelabelan Masa Pakai Produk: Inisiatif yang mewajibkan produsen memberikan informasi yang lebih jelas tentang perkiraan masa pakai dan kemudahan perbaikan produk pada saat penjualan.
3. Ekonomi Sirkular (Circular Economy): Pergeseran fokus menuju model ekonomi sirkular, yang memprioritaskan daya tahan, kemudahan perbaikan, penggunaan kembali, dan daur ulang dibandingkan model linier tradisional ("ambil-buat-buang").
Referensi
London, B. (1932). Ending the Depression Through Planned Obsolescence. Bernard London.
Packard, V. (1960). The Waste Makers. David McKay Company.
Stevens, B. (n.d.). Perceived Obsolescence. (Konsep yang dipublikasikan melalui wawancara dan publikasi industri pada pertengahan abad ke-20).
Bulow, J. (1986). An economic theory of planned obsolescence. The Quarterly Journal of Economics, 101(4), 729–750. https://doi.org/10.2307/1884846
Guiltinan, J. (2009). Creative destruction and destructive creations: Environmental ethics and planned obsolescence. Journal of Business Ethics, 89(1), 19–28. https://doi.org/10.1007/s10551-008-9907-7
Orbach, B. (2004). The durapolist puzzle: Monopoly power in durable-goods market. Yale Journal on Regulation, 21(1), 57–119.
Dannoritzer, C. (Sutradara). (2010). The light bulb conspiracy (L'obsolescence programmée) [Film Dokumenter]. Arte.
Leonard, A. (2007). The story of stuff [Film Pendek Animasi]. Free Range Studios.
Orno, C. B., & Kristanto, A. (2024). MENELUSURI JEJAK NEOLIBERAL: PLANNED OBSOLESCENCE DALAM PERUBAHAN EKONOMI GLOBAL. Triwikrama: Jurnal Ilmu Sosial, 4(1), 10–23.
Penulis
Fajar Santoso
Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta
