Sumenep, Kompasone.com - Polemik krusial terkait disfungsi sistem distribusi air bersih yang menyergap Desa Gunggung, Kecamatan Batuan, Kabupaten Sumenep, kini tereskalasi menjadi isu publik yang menuntut peninjauan hukum dan akuntabilitas.
Kelambanan respons Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sumenep selama kurun waktu satu (1) bulan terakhir disinyalir kuat telah melanggar prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dasar masyarakat atas air bersih, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan regulasi turunannya.
Defisit layanan vital ini bukan sekadar insiden teknis; ini adalah preseden kelalaian korporasi yang berdampak sistemik dan masif, khususnya menjerat kelompok kaum dhufa dalam penderitaan yang melampaui batas kewajaran. Kami menggarisbawahi situasi di Gunggung sebagai 'Krisis Kemanusiaan Mikro' yang mendesak intervensi eksekutif dan legislatif.
Berdasarkan investigasi di lokasi (16/11/2025), dan keterangan anonim yang terverifikasi, penderitaan ratusan warga telah mencapai titik nadir.
Keluhan Warga (Inisial M) "Air minum dari PDAM sudah sebulan lamanya tak kunjung teratasi... kami harus mengangkut air sejauh 150 meter dari tandon alternatif. Tandon tersebut sejatinya tidak solutif, melainkan menambah beban yang seharusnya tidak kami pikul untuk kebutuhan vital, padahal kami taat bayar iuran setiap bulan. Kami sudah tua, tidak selayaknya bolak-balik mengangkut air."
Keluhan senada ditegaskan oleh Warga (Inisial D) melalui komunikasi digital, yang meragukan klaim perbaikan oleh PDAM.
Warga (Inisial D)"Saya sudah tidak tahan dengan kelangkaan air... Kalau PDAM masih mengatakan masih dalam perbaikan, saya tidak pernah melihat ada petugas memperbaiki saluran yang dikatakan ada kebocoran... Saya memohon kepada Pemerintah Kabupaten Sumenep untuk memperhatikan penderitaan kami... sudah sebulan kekurangan air untuk mandi, untuk sholat, untuk masak, dan keperluan lainnya."
Keluhan-keluhan ini secara yuridis dapat dikategorikan sebagai bukti awal (prima facie evidence) wanprestasi dan/atau perbuatan melawan hukum (PMH) oleh PDAM sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang terikat pada kewajiban pelayanan publik (public service obligation).
Menyikapi eskalasi krisis ini, pihak legislatif melalui Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sumenep merespons dengan tegas.
Gunaifi Syarif Arrody, Anggota Komisi II Fraksi PAN: "Dari banyak keluhan dari masyarakat Gunggung Timur... saya akan menindaklanjuti terkait keluhan warga Desa Gunggung Dusun Gung Timur RT 1 dan RT 2 RW 2... Kami akan memanggil Direktur Utama (Dirut) PDAM pada hari Kamis, 20 November 2025, untuk mengatasi soal air PDAM yang dikeluhkan oleh masyarakat hingga kini."
Pemanggilan Dirut PDAM oleh Komisi II DPRD merupakan bentuk fungsi pengawasan (oversight function) legislatif dan mengindikasikan bahwa permasalahan ini telah masuk dalam agenda intervensi politik dan hukum.
Keadaan ini menjustifikasi dugaan awal adanya 'Kejahatan Korporasi Struktural', di mana kelalaian PDAM secara institusional telah mengakibatkan penderitaan kolektif.
Tuntutan publik tidak hanya berkisar pada pemulihan layanan segera, namun juga akuntabilitas penuh atas kerugian imaterial dan material yang dialami warga, termasuk potensi tuntutan ganti rugi berdasarkan prinsip-prinsip hukum perlindungan konsumen dan HAM.
PDAM Sumenep kini berada di bawah sorotan tajam dan harus memberikan klarifikasi dan solusi konkret yang bersifat eksekutorial dan berkelanjutan, bukan sekadar langkah paliatif sementara.
Kegagalan untuk memulihkan layanan pada batas waktu yang wajar pasca-intervensi DPRD dapat memicu proses hukum lebih lanjut, termasuk potensi pengajuan hak interpelasi oleh DPRD dan gugatan class action oleh masyarakat.
(R. M Hendra)
