Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Ketika Tumbler Menjadi Drama Nasional: Pelajaran Penting tentang Persepsi, Emosi, dan Reputasi

Jumat, November 28, 2025, 08:01 WIB Last Updated 2025-11-28T01:01:22Z
Antonius Satria Hadi, PhD.

Kasus hilangnya sebuah tumbler di sebuah layanan transportasi publik beberapa waktu belakangan ini menunjukkan bahwa dalam dunia bisnis modern, realitas tidak selalu dibentuk oleh fakta, tetapi oleh persepsi. Unggahan di media sosial yang memviralkan kejadian tersebut menimbulkan reaksi masif, bahkan sebelum klarifikasi resmi muncul. Di sinilah prinsip klasik pemasaran “perception is reality” bekerja, yakni apa yang dipercaya publik sering kali lebih menentukan dibandingkan apa yang sebenarnya terjadi.


Fenomena ini memperlihatkan bagaimana konsumen bereaksi tidak hanya secara rasional, tetapi juga emosional. Dalam teori perilaku konsumen, manusia cenderung mengalami loss aversion, yang mana rasa kehilangan terasa jauh lebih besar dibandingkan rasa senang saat mendapatkan sesuatu. Meskipun benda yang hilang bernilai relatif kecil, pengalaman kehilangan yang ditambah dugaan bahwa ada pihak tertentu yang bertanggung jawab, memicu respons emosional yang intens. Kehilangan kecil dapat berubah menjadi kemarahan besar ketika konsumen merasa diperlakukan tidak adil.


Dalam dinamika tersebut, terlihat jelas bahwa emosi sering kali mengalahkan rasionalitas. Konsumen tidak menunggu proses verifikasi, investigasi, atau penelusuran. Reaksinya muncul spontan, berdasarkan persepsi pertama yang terbentuk. Ketika sebuah unggahan emosional disertai narasi yang tampak meyakinkan memasuki ruang publik, mayoritas orang tak lagi mengacu pada prosedur, bukti, atau kronologi lengkap. Mereka merespons berdasarkan apa yang mereka rasakan, bukan apa yang mereka ketahui. Inilah mengapa perilaku konsumen sangat dipengaruhi oleh emosi dan persepsi, bukan semata-mata fakta objektif.


Media sosial memperkuat dinamika itu. Budaya digital saat ini mendorong electronic word of mouth (e-WOM) menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Sekali sebuah cerita menyentuh perasaan publik terutama yang terkait ketidakadilan, kelalaian, atau drama interpersonal, narasinya akan berkembang jauh melampaui konteks awalnya. Media sosial menyukai drama, karena drama memancing interaksi, komentar, dan perdebatan. Algoritma justru memperkuat unggahan yang memicu emosi kuat seperti marah, kecewa, simpati, atau kecurigaan. Akibatnya, cerita yang awalnya sederhana berubah menjadi fenomena viral nasional hanya dalam hitungan jam.


Pada titik ini, berbagai cognitive bias bekerja secara masif. Confirmation bias membuat publik lebih mudah percaya pada narasi yang sesuai dengan pengalaman mereka sebelumnya, misalnya anggapan bahwa layanan publik sering bermasalah. Availability heuristic membuat contoh yang viral dianggap sebagai gambaran umum, padahal bisa saja itu kasus tunggal. Bias-bias ini membuat orang lebih cepat menyalahkan, menuduh, atau menarik kesimpulan tanpa menunggu proses investigasi. Sementara fakta bergerak secara linear, opini publik bergerak secara eksponensial.


Dalam perspektif bisnis, kasus ini memberikan pelajaran penting mengenai betapa besarnya risiko reputasi (reputational risk) di era digital. Hilangnya sebuah barang pelanggan mungkin tergolong small service failure. Namun, dampak terhadap reputasi bisa sangat besar. Satu keluhan viral dapat menimbulkan persepsi bahwa sistem pengelolaan layanan gagal, meskipun itu hanya kasus kecil. Small service failure yang berimbas pada big reputation impact adalah kenyataan yang harus dihadapi oleh seluruh organisasi modern.


Pada akhirnya, biaya reputasi bisa jauh melampaui biaya operasional apa pun. Untuk menggantikan produk yang hilang, mungkin hanya diperlukan puluhan atau ratusan ribu rupiah. Namun untuk memulihkan kepercayaan publik? Bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun, intervensi komunikasi strategis, audit internal, hingga perbaikan sistem. Reputasi adalah aset yang rapuh, bahkan sebuah insiden kecil dapat menciptakan krisis besar.


Kasus tumbler hilang ini seharusnya menjadi pengingat bagi publik dan organisasi layanan. Bagi publik, penting untuk menyadari bahwa emosi dapat menyesatkan dan persepsi yang viral tidak selalu mencerminkan kebenaran. Bagi organisasi, ini adalah momentum untuk meningkatkan transparansi, komunikasi, serta kemampuan merespons krisis dengan cepat dan empatik.


Di tengah ekosistem digital yang bergerak sangat cepat, satu hal tetap berlaku yakni kepercayaan adalah mata uang utama. Dan ketika kepercayaan terganggu bahkan karena hal yang tampak sepele, maka dampaknya dapat jauh lebih besar daripada yang dibayangkan.


Penulis : Antonius Satria Hadi, PhD.

Dosen Program Studi Kewirausahaan, Universitas Widya Mataram, Yogyakarta

Iklan

iklan