Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Dugaan Pelanggaran HAM Kabupaten Puncak: Tim Investigasi HAM Puncak Serahkan Laporan ke Ketua Komnas HAM Papua

Senin, September 29, 2025, 16:38 WIB Last Updated 2025-09-29T09:39:03Z

Nabire, kompasone.com – Tim Investigasi HAM Kabupaten Puncak, Papua Tengah, secara resmi menyerahkan laporan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) periode Februari–Juli 2025 kepada Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey. Penyerahan ini dilakukan usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) bertema “Bisakah Percepatan Pembangunan Papua Tengah di Tengah Konflik?” yang diinisiasi Wakil Ketua Komisi IV DPR Papua, Jhon R. Gobai, di Aula RRI Nabire, Senin (29/09/2025) pukul 09.30 WIT.


RDP tersebut sedianya menghadirkan sejumlah narasumber penting, seperti Kapolda Papua Tengah, Danrem 173/PVB, dan Wakil Ketua DPD RI Yorris Raweyai. Namun, pantauan media menunjukkan para pejabat tersebut tidak hadir. Akibatnya, diskusi lebih banyak berfokus pada evaluasi situasi konflik, dugaan pelanggaran HAM, serta langkah-langkah pemerintah dan DPR dalam mencari solusi atas konflik yang melanda delapan kabupaten di Papua Tengah.


Sejumlah peserta forum menilai, kebijakan pemerintah pusat justru menjadi pemicu eskalasi konflik. Di antaranya adalah kebijakan pengiriman pasukan TNI non-organik dalam jumlah besar ke wilayah sipil, serta isu pelepasan wilayah tambang di Blok Wabu dan blok-blok lain oleh mantan Penjabat Gubernur Papua Tengah, Ribka Haluk, yang dinilai membuka jalan bagi eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan kondisi sosial setempat.


Dalam forum itu, Tim Investigasi HAM bersama mahasiswa asal Kabupaten Puncak menyerahkan laporan resmi terkait dugaan pelanggaran HAM.


“Hari ini kami menyerahkan laporan dugaan pelanggaran HAM, di antaranya enam warga sipil meninggal di lokasi pengungsian dan empat warga sipil diduga tewas akibat tembakan aparat TNI,” ungkap Ketua Tim Investigasi, Mis Murib.


Ia menegaskan, konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPNPB-OPM tidak hanya memakan korban jiwa, tetapi juga memicu pengungsian besar-besaran. Ribuan warga terpaksa meninggalkan kampung halaman, kehilangan akses pendidikan, dan hidup dalam kondisi yang tidak layak.
Menurutnya, akar persoalan terletak pada kebijakan pemerintah pusat yang tidak memahami konteks Papua.


“Pendropan militer secara masif bukan bertujuan melindungi warga, melainkan untuk membuka jalan bagi eksploitasi tambang sekaligus melumpuhkan eksistensi etnis Melanesia. Fakta di lapangan berbicara: warga dibunuh, rumah dibakar, dan pengungsian terjadi di mana-mana,” tegasnya.


Menanggapi laporan tersebut, Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, menyampaikan apresiasi atas kerja-kerja advokasi Tim Investigasi dan mahasiswa.



“Laporan ini kami terima secara resmi. Selanjutnya Komnas HAM akan melakukan analisis mendalam, dan apabila ditemukan indikasi pelanggaran HAM, kami akan menindaklanjutinya sesuai prosedur hukum,” jelasnya.


Ramandey menekankan pentingnya partisipasi publik dalam mengawasi kebijakan negara. “Kami akan mengirimkan formulir laporan digital agar setiap peristiwa baru bisa segera dilaporkan langsung ke pusat. Semua pihak harus berperan aktif mengawasi kebijakan negara demi terwujudnya pembangunan yang humanis dan berlandaskan prinsip HAM,” ujarnya.


Mahasiswa Kabupaten Puncak yang turut mendampingi berharap laporan tersebut menjadi pintu masuk penegakan hukum atas pelanggaran HAM di daerah konflik.



“Kami berharap para pelaku pelanggaran HAM diproses sesuai hukum. Laporan ini kami susun berdasarkan hasil investigasi selama satu bulan,” tegas Dei Murib, Sekretaris KMPP Nabire.


Sementara itu, Ketua Umum KMPP Nabire, Yones Magai, menyoroti dampak langsung konflik terhadap masyarakat.



“Orang tua kami dari Distrik Pogoma, Sinak Barat, Yugumuak, Oneri, Gome, dan Gome Utara terpaksa mengungsi. Anak-anak kami kehilangan akses pendidikan, ruang sosial diawasi aparat. Kami mendesak Komnas HAM untuk menekan pemerintah pusat dan Panglima TNI menghentikan pengiriman pasukan yang berlebihan. Kehadiran mereka justru memperparah penderitaan warga,” ujarnya.


Mahasiswa dan Tim Investigasi juga mendesak Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Puncak yang telah dibentuk agar bekerja secara serius, inklusif, dan melibatkan semua pihak guna mempercepat penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan penanganan pengungsi.


 (MM) 

Iklan

iklan