Sumenep, kompasone.com - Gelombang diskursus publik kini tengah memanas di Kabupaten Sumenep menyusul isu relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang beroperasi di sepanjang Jalan Diponegoro.
Kebijakan yang disinyalir akan merelokasi para pelaku usaha mikro kecil ini sontak menuai beragam reaksi, terutama dari kalangan PKL yang merasa telah mapan dan nyaman dengan lokasi berjualan mereka saat ini. Sentimen ini mencuat di tengah dinamika pembangunan dan penataan kota yang tengah digencarkan oleh pemerintah daerah.
Menanggapi polemik yang berkembang, Kepala Dinas Perindustrian dan koprasi Perdagangan (Diskoperindag) Kabupaten Sumenep 29/4/25, Ramli, S.Sos., M.Si., memberikan klarifikasi komprehensif. Dalam keterangannya, beliau menekankan bahwa setiap kebijakan publik tidak mungkin mengakomodasi seluruh kepentingan secara sempurna.
"Dalam setiap formulasi kebijakan, pemerintah memiliki tanggung jawab ganda, yakni memberikan ruang bagi aktivitas ekonomi masyarakat sekaligus memastikan ketertiban dan kelancaran fasilitas publik bagi seluruh pengguna jalan," ujar Ramli dengan retorika yang tenang namun sarat makna. Beliau menambahkan, "Hingga saat ini, dapat saya katakan bahwa pemerintah daerah bertindak dengan sangat bijak dan luar biasa dalam menimbang berbagai aspek."
Lebih lanjut, Ramli menjelaskan bahwa wacana pemindahan lokasi bagi PKL masih berada dalam tahap perencanaan yang matang. Beliau memaparkan diferensiasi perlakuan antara PKL di zona merah, seperti di Desa Pabian yang dinilai mengganggu secara signifikan fasilitas umum dengan aktivitas berjualan tanpa batasan waktu, dengan PKL di kawasan Diponegoro yang memiliki batasan operasional yang jelas, yakni mulai pukul 16.00 hingga 22.00 WIB.
Sebagai solusi akomodatif, pemerintah daerah telah menyiapkan tiga alternatif lokasi bagi PKL, yaitu Pasar Bengkel, Pasar Anom, dan tetap di Jalan Diponegoro dengan catatan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.
"Saat ini, kami juga tengah merencanakan pengajuan tiga lahan potensial kepada Bapak Bupati untuk dijadikan lokasi relokasi PKL," ungkap Ramli. Ketiga lahan yang dimaksud adalah Gedung Dewan lama, eks Hotel Utami yang saat ini tidak beroperasi, dan kawasan Jalan Lingkar. "Kami meyakini bahwa salah satu dari ketiga lahan ini memiliki potensi besar untuk menstimulasi sirkulasi perdagangan masyarakat yang terus berkembang, sekaligus memberikan nilai tambah ekonomi bagi pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Sumenep," imbuhnya dengan nada optimis.
Dalam konteks perencanaan jangka panjang, Ramli menyinggung mengenai tahapan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk lima tahun ke depan. "Bapak Bupati memiliki kewajiban konstitusional untuk menyusun sebuah 'kitab' yang kita kenal sebagai RPJMD," tegasnya.
Beliau kemudian mengelaborasikan visi dan misi pembangunan Kabupaten Sumenep untuk periode 2025-2030 yang telah disampaikan oleh Bupati bersama Wakil Bupati KH. Imam Hasyim, S.H., M.H. Visi yang diemban adalah "Sumenep Unggul Mandiri dan Sejahtera," yang kemudian dijabarkan dalam lima misi pembangunan strategis, salah satunya adalah membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berdaya saing di bidang pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan.
Menutup keterangannya, Ramli memilih diksi yang mengundang rasa ingin tahu. "Intinya, seperti apa nanti implementasinya, mari kita saksikan bersama," pungkasnya dengan senyum khas, menyisakan ruang interpretasi bagi khalayak ramai mengenai arah kebijakan relokasi PKL dan dampaknya terhadap lanskap ekonomi dan sosial Kabupaten Sumenep ke depan.
Polemik ini menjadi representasi klasik dari tarik-menarik antara kepentingan penataan kota yang ideal dengan keberlangsungan mata pencaharian masyarakat akar rumput, sebuah isu yang niscaya akan terus menjadi perhatian publik.
(R. M Hendra)