Di medan perang pengabdian, tatkala riuh rendah langkah banyak punggawa sibuk menata batu pijakan demi masa depan, lahirlah sebuah kisah yang ditulis dalam aksara keheningan.
Kisah tentang Drs. Achmad Dzulkarnain, M.H. seorang Cendekia Adab yang memilih jalur sunyi, menenggelamkan dirinya ke dasar laut pengasingan demi sebuah nama yang beliau junjung tinggi yaitu Peradaban Sumenep.
Beliau, yang kini menjabat Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Sumenep, adalah Arsitek Budi yang membangun pilar-pilar adab bukan dengan sorak sorai, melainkan dengan pengorbanan diam.
Laksana Kapal Selam yang tugasnya tak terbaca di permukaan, mantan Kepala Dinas Sosial ini rela tenggelam ke kedalaman sunyi setelah menunaikan tugas yang berbobot spiritual tinggi bagi transformasi sosial.
Saat khalayak lain menikmati tidur pulas di tengah ketenangan, beliau memilih berdiam dan mengasingkan diri dari hingar bingar sanjungan. Namun, ada janji suci yang terpatri dalam dirinya.
Beliau Terbangun Tepat Ketika Badai Melanda. Jebolan Panglima perang STPDN yang merupakan senior kharismatik bagi pejabat era kini tersebut, lantas tampil bukan untuk mencari panggung, melainkan untuk Menyelimuti mereka yang tertidur, menjadi Tangan Dingin yang menjaga kondusivitas di tengah pusaran Pil kanda dan isu kebangsaan.
Ini adalah puncak adab, Berkorban Tanpa Tanda Jasa, memastikan Kondusivitas sebagai nafas bagi peradaban yang hendak diangkatnya ke level yang lebih tinggi.
Sosok "Dzoel" pemegang gelar Magister Hukum dan berpegang teguh pada NIP 19721123 199201 1 001 telah membuktikan bahwa Ilmu Hukum dan Budi Luhur adalah dua sisi mata Pisau yang tak terpisahkan.
Fokusnya di Bakesbangpol adalah menurunkan konflik dan menguatkan ideologi Pancasila, menjadikannya Tiang Kokoh yang menopang persatuan.
Jika integritasnya sempat didera ombak isu netralitas, ia menghadapinya dengan Ketegasan dan ketenangan Seorang Panglima perang sejati menegaskan komitmennya pada Kode Etik ASN.
Drs. Achmad Dzulkarnain, M.H., adalah Legenda Sunyi. Dedikasinya menegaskan bahwa perubahan peradaban tidak selalu dibangun oleh teriakan di mimbar, melainkan oleh adab tinggi seorang pemimpin yang rela menjadi karang yang tenggelam asalkan Cahaya sumenep tetap menyala dan menjulang.
Penulis : R. M Hendra
