Polemik yang terjadi di Ketapang terkait sengketa pemberitaan melibatkan seorang Pejabat Publik (Kepala Bidang di Dinas Perkim LH) dan organisasi wartawan lokal (PWK) menyoroti batas tipis antara kebebasan pers dan hak asasi individu. Peristiwa ini menunjukkan pemahaman yang tegas dari Pelapor bahwa kejahatan fitnah tidak dapat diselesaikan hanya dengan etika pers.
Pihak yang dirugikan memberikan respons resmi terhadap kritik Ketua PWK, Verry Liem, yang menilai aksi jurnalis meminta maaf secara personal merendahkan martabat pers.
Menerima Maaf Personal, Tetap Menuntut Pidana
Pejabat Publik tersebut menegaskan bahwa ia menerima permohonan maaf dari jurnalis yang datang sebagai gestur kemanusiaan dan bentuk pengakuan kekeliruan yang datang dari jurnalis itu sendiri. Namun, ia menekankan bahwa tindakan ini tidak menggugurkan proses hukum yang telah ia tempuh.
Langkah ini dinilai sebagai tindakan yang tepat dan bijaksana. Permintaan maaf personal dari oknum jurnalis tersebut secara implisit membenarkan bahwa terdapat kesalahan fatal dalam produk pemberitaan mereka. Hal ini memperkuat posisi Pelapor di mata hukum. Kritik PWK yang terfokus pada martabat pers justru mengabaikan kerugian personal yang dialami oleh Pelapor akibat pemberitaan tersebut.
Fitnah Adalah Kejahatan, Bukan Sengketa Biasa
Pejabat Publik tersebut menjelaskan alasan utamanya melapor ke Kepolisian. Baginya, kasus ini sudah melampaui sengketa pemberitaan yang diselesaikan melalui Hak Jawab (UU Pers). Pemberitaan yang disebar dinilai telah memasuki ranah fitnah, pencemaran nama baik, dan menyerang kehormatan pribadi di luar isu publik.
"Kami tidak sedang berbicara soal integritas pers secara keseluruhan, tapi kami bicara soal integritas oknum yang menulis berita bohong dan menyebarkan fitnah yang merugikan. Bagi kami, ini bukan lagi sengketa pers biasa, tapi sudah masuk unsur pidana," demikian penegasan Pihak Pelapor.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Pihak yang Dirugikan menggunakan haknya untuk menuntut keadilan melalui jalur hukum umum (KUHP) karena merasa telah menjadi korban kejahatan. Pejabat tersebut juga menegaskan bahwa ia telah mematuhi prosedur dengan melaporkan beberapa media ke Dewan Pers, namun Kepolisian adalah jalur yang dipilih untuk kasus fitnah yang dinilai keterlaluan.
Komitmen Terhadap Hukum dan Keadilan
Pihak Pelapor menegaskan komitmennya terhadap keadilan. Ia telah menyerahkan semua bukti yang dimiliki kepada penyidik dan saat ini hanya menunggu tindak lanjut dan proses hukum berjalan.
Langkah Pejabat Publik ini adalah penegasan penting bahwa kebebasan pers tidak boleh diartikan sebagai kebebasan memfitnah. Ketika kehormatan pribadi dirusak, setiap warga negara, termasuk Pejabat Publik, berhak menuntut pertanggungjawaban pidana.
Kita percaya pada prinsip "equality before the law". Siapapun yang terbukti menyebarkan fitnah harus bertanggung jawab. Dan yang difitnah akan membersihkan nama baiknya hingga tuntas di hadapan hukum.
Penulis : Budi Rahman
