Sumenep, Kompasone.com – Integritas tata kelola proyek infrastruktur di Kabupaten Sumenep kembali dipertanyakan menyusul temuan mencolok terkait pengerjaan pengaspalan jalan di Desa Kopedi, Kecamatan Bluto. Proyek yang berada di bawah otoritas pelaksanaan Penjabat (PJ)
Kepala Desa ini menjadi titik sentral kritik pedas dari jaringan jurnalis independen (JNO) dan awak media, lantaran disinyalir kuat adanya penyimpangan spesifikasi teknis (spek) yang berindikasi merugikan keuangan negara.
Hasil investigasi mendalam yang dilakukan oleh tim redaksi Kompasone.com pada 14 Oktober 2025 di lokasi proyek menunjukkan adanya disparitas signifikan antara standar pelaksanaan yang diatur dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (Juklak-Juknis) dengan realita lapangan.
Konstruksi pengaspalan tersebut tampak dikerjakan secara serampangan ("asal-asalan") dan jauh dari kaidah kualitas infrastruktur yang diharapkan, memunculkan dugaan kuat bahwa orientasi utama proyek ini adalah memaksimalisasi margin keuntungan pribadi ketimbang memenuhi kepentingan publik.
Fenomena pekerjaan yang disebut-sebut sebagai "pekerjaan bodong" ini secara tegas melanggar prinsip akuntabilitas publik dan fidelitas pelaksanaan kontrak yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBD.
Dugaan kuat mengarah pada persekongkolan jahat dan tindakan melawan hukum yang bertujuan memperoleh keuntungan tidak sah, sebuah delik yang dapat diklasifikasikan sebagai Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Menanggapi temuan yang meresahkan ini, Rasyid Nadyin, seorang aktivis pemerhati kebijakan publik, menyatakan sikap tegasnya untuk membawa persoalan ini ke ranah hukum.
"Jika penyimpangan yang merugikan keuangan negara ini tidak segera dikoreksi dan ditindaklanjuti, maka saya pastikan akan segera melaporkannya ke Satuan Reserse Kriminal Khusus (Satreskrimsus) Polres Sumenep," tegas Rasyid. Ini adalah tindakan yang serius.
Ia akan menuntut pertanggungjawaban hukum terhadap setiap individu yang terlibat, baik itu pihak pelaksana, pengawas, maupun PJ Kepala Desa sebagai penanggung jawab otoritas anggaran, atas kerugian yang ditimbulkan.
Pascapernyataan keras dari aktivis, awak media segera berupaya mengonfirmasi duduk perkara ini kepada pihak yang berkepentingan. Upaya menghubungi PJ Kepala Desa Kopedi yang ditugaskan oleh Camat Bluto melalui saluran komunikasi resmi, termasuk aplikasi WhatsApp, tidak mendapat tanggapan.
Panggilan konfirmasi dari media diabaikan ("tidak digubris"), mencerminkan sikap non-kooperatif yang kian memperkuat spekulasi publik mengenai adanya upaya menghindar dari transparansi dan akuntabilitas.
Hingga berita ini dilansir ke khalayak, baik dari pihak PJ maupun otoritas Desa Kopedi belum memberikan klarifikasi substansial yang dapat menepis dugaan adanya maladministrasi dan kegagalan konstruksi yang merugikan negara.
Ketiadaan respons ini dianggap sebagai indikasi awal pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan menjadi catatan buruk terhadap komitmen good governance di tingkat desa.
Kasus pengaspalan Desa Kopedi ini kini berada di ambang pelaporan resmi, menuntut respons cepat dan tindakan yuridis yang tegas dari aparat penegak hukum guna mengembalikan prinsip keadilan restoratif dan menindak tegas praktik korupsi infrastruktur yang merampas hak-hak masyarakat.
(R. M Hendra)
