Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Amnesti dan Abolisi: Hak Prerogatif Presiden dalam Perspektif Hukum Tata Negara

Jumat, Agustus 01, 2025, 09:06 WIB Last Updated 2025-08-01T02:06:40Z

 


Oleh: Bagus Anwar Hidayatulloh, SH, MH, MSc. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Widya Mataram


Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Presiden memiliki beberapa kewenangan istimewa yang dikenal sebagai hak prerogatif. Salah satunya adalah kewenangan untuk memberikan amnesti dan abolisi, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Meski bersifat prerogatif, pemberian amnesti dan abolisi tetap mensyaratkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai bentuk pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif. Kewenangan ini bukan sekadar simbol kekuasaan, melainkan sarana konstitusional untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum dan politik tertentu.


Secara terminologis, amnesti merupakan pengampunan yang diberikan oleh negara terhadap suatu kelompok pelaku tindak pidana, biasanya dalam konteks kejahatan politik. Amnesti menghapus sifat pidana dari perbuatan yang dilakukan, seolah-olah peristiwa hukum tersebut tidak pernah terjadi. Sementara itu, abolisi adalah penghentian proses hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang, meskipun perkaranya belum diputus oleh pengadilan. Keduanya berfungsi sebagai alat politik dan hukum untuk merespons situasi luar biasa yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme peradilan biasa.


Dari sudut pandang hukum tata negara, keberadaan amnesti dan abolisi mencerminkan prinsip checks and balances antar cabang kekuasaan. Presiden tidak dapat menggunakan kewenangan ini secara sepihak karena diperlukan pertimbangan dari DPR. Artinya, meski termasuk hak prerogatif, kewenangan tersebut tunduk pada prinsip keterbukaan dan akuntabilitas dalam sistem demokrasi. Hal ini menandakan bahwa Presiden tidak berdiri di atas hukum, melainkan tetap berada dalam kerangka negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan kepastian hukum.


Namun, pemberian amnesti dan abolisi tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan. Di satu sisi, keduanya dapat menjadi instrumen penting dalam menyelesaikan konflik politik atau meredakan ketegangan sosial. Misalnya, dalam situasi pasca pemilu, pasca konflik atau pascakerusuhan, amnesti bisa menjadi jalan tengah untuk mengakhiri permusuhan dan memulai rekonsiliasi nasional. Abolisi juga dapat menjadi upaya meredam kegaduhan hukum yang berpotensi menimbulkan instabilitas. Di sisi lain, kewenangan ini berpotensi disalahgunakan, terutama jika digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek, melindungi kroni, atau melemahkan supremasi hukum. Ketika itu terjadi, kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan institusi negara bisa runtuh.


Kelemahan lainnya adalah minimnya partisipasi publik dalam proses pemberian amnesti dan abolisi. Meski DPR dilibatkan secara formal, pembahasan sering kali berlangsung tertutup dan tidak menyentuh ruang partisipasi masyarakat sipil. Padahal, kebijakan semacam ini memiliki dampak besar terhadap keadilan publik dan rasa kepercayaan terhadap negara. Oleh karena itu, diperlukan transparansi dan akuntabilitas yang lebih kuat dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut penggunaan hak prerogatif Presiden.


Sebagai penutup, amnesti dan abolisi merupakan dua kewenangan penting yang dapat memainkan peran strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun, kewenangan tersebut harus digunakan secara hati-hati, proporsional, dan dalam semangat untuk menjaga keadilan serta stabilitas nasional. Presiden, sebagai pemegang amanat rakyat, sepatutnya mempertimbangkan secara cermat setiap keputusan yang menyangkut pemberian pengampunan hukum, dengan mengedepankan prinsip negara hukum dan nilai-nilai demokrasi yang substantif.

Iklan

iklan