Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Integritas Peradilan di Persimpangan, Silang Keterangan Saksi dalam Sidang Ongky Surya Abdi Memicu Krisis Kepercayaan Hukum

Kamis, Juni 19, 2025, 02:32 WIB Last Updated 2025-06-18T19:32:53Z


Sumenep, Kompasone.com – Sistem peradilan Indonesia kembali diuji dengan mencuatnya dugaan kejanggalan dalam proses hukum yang menjerat Ongky Surya Abdi, alias Ongki, terkait kasus narkoba. Ongki, yang saat ini menjalani masa tahanan di Rutan Kelas IIB Sumenep, menghadiri persidangan pada Rabu, 11 Juni 2025, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari pihak Kepolisian Sektor Tungkal.


 Kehadiran saksi, yang diwakili oleh inisial MH dan AR, justru menimbulkan tanda tanya besar dan memicu kekecewaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) akibat inkonsistensi antara dakwaan dan kesaksian di muka persidangan.


Dalam dakwaan, JPU menjerat Ongki dengan Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Narkotika, disertai barang bukti sabu seberat 0,30 gram. Namun, fakta mengejutkan terungkap saat saksi dari kepolisian memberikan keterangan di depan Majelis Hakim. Saksi menyatakan bahwa Ongki Suryadi hanya berstatus sebagai pengguna narkoba. Pernyataan ini secara substansial bertentangan dengan dakwaan awal, yang semestinya menjerat Ongki dengan Pasal 127 sebagai pengguna, bukan Pasal 112 dan 114 yang berkaitan dengan kepemilikan atau peredaran.


Kesenjangan antara dakwaan dan kesaksian ini mengindikasikan adanya ambiguitas serius dalam proses penyidikan dan penuntutan. JPU bahkan dilaporkan sempat menundukkan kepala, menunjukkan kekecewaan atas keterangan saksi yang dinilai tidak sejalan dengan berkas perkara dan berpotensi mencederai asas keadilan. Inkonsistensi semacam ini berpotensi merusak integritas proses hukum dan menimbulkan keraguan publik terhadap profesionalisme aparat penegak hukum.


Ongki Surya Abdi, dalam persidangan, dengan tegas membantah kepemilikan barang bukti sabu seberat 0,30 gram. Ia menyampaikan kepada Majelis Hakim bahwa pengakuan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dilakukan di bawah tekanan dan ancaman dari saksi. Pengakuan terpaksa ini, jika terbukti benar, merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak fundamental terdakwa dan dapat menggugurkan kekuatan hukum alat bukti.


Selepas persidangan, sebelum kembali ke ruang tahanan Pengadilan Sumenep, Ongki sempat memberikan keterangan kepada media Kompas One. Ia menegaskan bahwa seluruh keterangannya di persidangan adalah "apa adanya" dan ia tidak mengakui barang bukti sabu seberat 0,30 gram tersebut karena, menurut pengakuannya, telah dikonsumsi pada siang hari sebelum penangkapan dini hari sekitar pukul 01.30 WIB.


Lebih lanjut, Ongki mengulang kembali kronologi penangkapan yang dinilainya janggal. Ia menuturkan, "Seperti yang pernah saya sampaikan kepada media Kompas One sebelumnya, bahwa saat penggerebekan di dalam rumah kepala desa dan polisi Dungkek tidak menemukan barang bukti, kemudian saya dibawa keluar rumah lalu kepala desa Jadung masuk lagi diikuti Pak Kanit. 


Setelah itu saya dibawa masuk lagi ke dalam rumah disuruh melihat barang bukti yang kononnya baru ditemukan dalam bungkus rokok Surya 12, sedang saya tidak pernah merokok Surya 12 selain dji sam soe kretek Itu juga saya ungkapkan di depan Majelis Hakim biar tahu."


Kasus Ongky Surya Abdi ini menjadi tamparan keras bagi seluruh elemen penegak hukum di Indonesia. Di tengah krisis kepercayaan terhadap sistem hukum, setiap inkonsistensi, ambiguitas, dan dugaan pelanggaran prosedur harus ditindaklanjuti secara serius dan transparan. Hukum tidak boleh dipermainkan atau dimanipulasi demi kepentingan tertentu. Prinsip keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, berdasarkan fakta dan bukti yang sah, bukan atas dasar tekanan atau kesaksian yang meragukan.


Masyarakat Sumenep menuntut adanya proses hukum yang adil, jujur, dan berintegritas. Penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga hakim, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan setiap tahapan proses hukum berjalan sesuai koridor perundang-undangan. Kasus ini harus menjadi momen introspeksi dan perbaikan sistemik agar kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia dapat pulih dan hukum benar-benar menjadi panglima yang melindungi seluruh warga negara Indonesia.


(R. M Hendra)

Iklan

iklan