Sumenep, Kompasone.com – Pada malam kelabu tanggal 2 April 2025, sekitar pukul 20.00 WIB, sebuah tragedi memilukan menimpa Lutrianto, seorang anak di bawah umur yang menjadi korban serangkaian tindakan kekerasan dan perampasan. Peristiwa ini bukan hanya mencoreng citra Sumenep, tetapi juga menguak kelemahan sistem perlindungan anak yang seharusnya menjadi benteng pertahanan terakhir bagi mereka yang rentan.
Lutrianto, yang saat itu sedang berada di rumah temannya, Kiki dan Chandra, tiba-tiba dihadapkan pada situasi mengerikan. Seorang pria bernama Seni (Enny) datang dengan celurit di tangan, mengancam keselamatan bocah tersebut. Dalam ketakutan yang mendalam, Lutrianto melarikan diri untuk menyelamatkan diri.
Namun, penderitaan Lutrianto tidak berakhir di sana. Ketika ia kembali beberapa jam kemudian, sepeda motor Honda Beat miliknya raib. Informasi dari keluarga tuan rumah mengindikasikan bahwa Enny adalah pelaku pencurian tersebut. Tak puas dengan merampas harta benda, Enny kembali datang bersama istrinya dan melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap Lutrianto.
Ironisnya, satu bulan lebih telah berlalu sejak kejadian tersebut, tetapi keadilan tak kunjung tiba. Laporan yang diajukan ke Polres Sumenep seolah terabaikan, tenggelam dalam labirin birokrasi yang tak berujung. Ketidakpastian ini menciptakan luka yang menganga, bukan hanya bagi korban, tetapi juga bagi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Di tengah ketidakpastian ini, Kanit PPA Polres Sumenep, Agus, menyatakan pada 16 Mei 2025 bahwa terlapor telah diperiksa. Namun, pernyataan ini saja tidak cukup. Masyarakat menuntut tindakan nyata dan ketegasan dalam menangani kasus ini. Janji untuk "menyeriusi" kasus ini harus dibuktikan dengan langkah-langkah konkret dan transparan.
Dalam serangkaian upaya konfirmasi, Lutrianto menyematkan untaian kata kesedihannya “Saya Lutrianto, Pak Kapolres, melalui media Mas Hendra, ingin menyampaikan isi hati saya. Pak Kapolres adalah Bapak keamanan yang bertahta di hati kami masyarakat sumenep, yang membuat tidur kami nyenyak karena keamanan Polres Sumenep. Namun, saat ini, kami merasa tidak aman selama orang jahat yang merampas hak kami masih berkeliaran bebas. Tolong saya, Pak Kapolres.
Dalam pusaran ketidakpastian ini, harapan akan keadilan tetap membara. Kiranya, suara pilu Lutrianto menjadi pengingat bagi kita semua: bahwa setiap anak adalah amanah yang harus dilindungi, bahwa keadilan adalah hak yang tak bisa ditawar, dan bahwa penegakan hukum yang tegas adalah fondasi utama bagi terwujudnya masyarakat yang aman dan beradab.
Kasus Lutrianto adalah cermin buram dari realitas yang mengkhawatirkan. Kekerasan terhadap anak di bawah umur bukan hanya kejahatan, tetapi juga pengkhianatan terhadap masa depan bangsa. Impunitas terhadap pelaku hanya akan mengirimkan pesan yang salah: bahwa anak-anak tidak aman dan keadilan dapat dinegosiasikan.
Polres Sumenep memiliki tanggung jawab besar untuk memulihkan kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen yang tak tergoyahkan dalam melindungi anak-anak. Keterlambatan dalam menangani kasus ini akan semakin memperdalam luka korban dan merusak citra institusi penegak hukum.
Masyarakat Sumenep menanti keadilan. Mereka tidak ingin anak-anak mereka hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian. Perlindungan anak adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar, dan kegagalan dalam menegakkan hukum hanya akan mengundang tragedi yang lebih besar di masa depan.
(R. M Hendra)