Sumenep, Kompasone.com - Intensitas curah hujan tinggi yang melanda Kecamatan Kota Sumenep dalam beberapa hari terakhir telah memicu bencana hidrometeorologi serius. Sungai di Desa Kebonagung meluap, diperparah oleh jebolnya tanggul di hilir, tepatnya di belakang kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengairan, yang mengakibatkan banjir dahsyat dan mengancam keselamatan warga Desa Babbalan.
Bustanul Affa, S.H., M.H., Kepala Desa Kebonagung, dengan tegas menyatakan bahwa situasi ini melampaui sekadar gangguan aktivitas komunal. "Banjir ini bukan sekadar mengganggu mobilitas dan rutinitas warga, tetapi telah menciptakan ancaman eksistensial berupa potensi longsor yang sangat nyata.
Warga di RT 02 dan RT 10 telah melaporkan indikasi pergerakan tanah yang mengkhawatirkan, dengan beberapa titik di tepian sungai menunjukkan tanda-tanda keruntuhan akibat erosi yang progresif," ungkap Kades Tanu kepada media.
Analisis hidrologis menunjukkan bahwa kapasitas tampung sungai telah terlampaui, diperparah oleh kegagalan struktural tanggul. "Tanggul di belakang kantor UPT Pengairan mengalami kerusakan signifikan, menyebabkan limpasan air yang tidak terkendali dan mempercepat proses abrasi tanah. Ini adalah kegagalan infrastruktur yang memiliki konsekuensi hukum dan sosial yang serius," tegas Tanu.
Ironisnya, krisis ini diperparah oleh dugaan kuat adanya kelalaian dan respons yang lambat dari pihak berwenang. "Kami telah berulang kali menyampaikan aduan resmi kepada dinas terkait sejak awal. Meskipun sempat ada tinjauan lapangan, tidak ada tindakan nyata yang diambil untuk mengatasi masalah ini. Ini adalah contoh nyata dari abai-nya kewajiban negara dalam melindungi warga negaranya," kata Tanu dengan nada geram.
Kades Tanu juga menyoroti lambannya penanganan dari instansi yang memiliki mandat atas infrastruktur sungai dan pengairan. "Warga sudah sangat resah. Kami di tingkat desa hanya bisa melaporkan, tetapi jika tidak ada respons yang memadai dari pihak yang lebih tinggi, kami tidak memiliki daya untuk bertindak lebih jauh. Ini adalah pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat atas rasa aman dan lingkungan yang sehat."
Saat ini, warga Desa Kebonagung hidup dalam ketakutan. Sebagian telah mengungsi secara mandiri untuk mencari perlindungan. Kekhawatiran akan curah hujan yang terus berlanjut meningkatkan risiko kerusakan tanggul lebih lanjut dan mempercepat potensi longsor di wilayah padat penduduk.
Desa Kebonagung, yang secara geografis terletak di dataran rendah dekat sungai, memang rentan terhadap banjir. Namun, kondisi tahun ini digambarkan sebagai salah satu yang terparah dalam sejarah desa. Kades Tanu mendesak pemerintah daerah, khususnya Dinas Pengairan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sumenep, untuk segera mengambil tindakan tegas dan terukur.
"Kita tidak bisa menunggu sampai ada korban jiwa. Kami butuh solusi konkret dan implementasi yang cepat. Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah kemanusiaan dan keadilan," pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Dinas Pengairan Kabupaten Sumenep mengenai aduan warga dan kondisi tanggul yang jebol. Keheningan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas dan transparansi pemerintah dalam menangani situasi darurat.
Dalam konferensi pers yang diadakan di tengah situasi krisis, Bustanul Affa, S.H., M.H., menjelaskan lebih lanjut tentang fungsi dan tanggung jawab dinas pengairan. "Hujan yang terus menerus selama tiga hari terakhir telah memaksa kami untuk mengeluarkan peringatan dini melalui grup-grup RT. Pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya telah mengajari kami untuk selalu waspada terhadap potensi banjir. Kami telah berulang kali mengirimkan surat pemberitahuan tentang potensi banjir ini.
Kemarin, setelah menerima laporan dari warga tentang tanah longsor di belakang rumah mereka, terutama di RT 02 dan RT 11, kami merasa sangat dilematis. Sebagai kepala desa, sumber daya kami terbatas, terutama dalam hal pendanaan untuk proyek-proyek mitigasi seperti pembangunan tanggul yang memadai.
Meskipun dinas pengairan telah melakukan peninjauan, masalah ini tampaknya berada di bawah yurisdiksi provinsi. Kami telah melaporkan situasi ini kepada Gubernur Jawa Timur, Ibu Khofifah Indar Parawansa. Namun, kunjungan lapangan yang dilakukan terkesan hanya sebagai formalitas belaka, tanpa ada tindak lanjut yang berarti untuk mencegah longsor yang mengancam rumah-rumah warga. Bantuan terpal yang diberikan sama sekali tidak memadai," tegasnya.
Tanu juga mengkritik penanganan sampah di bawah jembatan oleh petugas. Dia menekankan perlunya solusi jangka panjang untuk mencegah banjir tahunan. "Kami membutuhkan solusi permanen, seperti pembangunan tebing penahan air yang kuat, untuk melindungi desa kami dari banjir dan longsor. Ini adalah masalah yang berulang setiap tahun, dan kami tidak bisa terus hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian."
Mengenai tingkat keparahan banjir, Tanu menjelaskan bahwa ketinggian air bervariasi antara satu hingga satu setengah meter. RT 02 adalah yang paling parah terkena dampaknya, dengan sekitar 30 keluarga yang terdampak. Situasi ini memerlukan tindakan segera dan terkoordinasi dari semua pihak terkait.
(R. M Hendra)