Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Kasus Pelecehan Seksual Yunita Ababil Mandek Tanpa Kejelasan

Minggu, Juni 01, 2025, 10:39 WIB Last Updated 2025-06-01T03:39:23Z


Sumenep, Kompasone.com – Penanganan laporan dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang diajukan oleh saudari Yunita Ababil di Polres Sumenep pada tanggal 15 Mei 2025, kini memasuki fase stagnasi yang mengkhawatirkan. 


Lebih dari dua pekan berlalu, belum ada indikasi progres signifikan atau penjelasan resmi mengenai penyebab kemandekan penyelidikan. Kondisi ini secara fundamental mengikis prinsip keadilan dan menodai kepercayaan publik terhadap kapasitas dan komitmen aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual.


Dugaan tindak pidana ini secara hukum merujuk pada ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Regulasi ini secara eksplisit mengkriminalisasi setiap perbuatan seksual, baik secara non-fisik maupun fisik, yang ditujukan untuk merendahkan harkat dan martabat individu berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaan. 


Ketiadaan tindak lanjut yang transparan dan akuntabel dalam penanganan perkara ini berpotensi menciptakan preseden buruk, mengindikasikan adanya celah impunitas yang tidak dapat ditoleransi dalam sistem peradilan pidana.


Laporan yang diajukan memuat kronologi peristiwa yang patut mendapatkan atensi serius dari aparat penegak hukum. Pada hari Kamis, 15 Mei 2025, sekitar pukul 13.00 WIB, Pelapor Yunita Ababil berniat menuju Kecamatan Blutoh.


Di Pelabuhan Talango, Pelapor bertemu dengan Terlapor atas nama IL dan SA alias AG. Kedua Terlapor menawarkan bantuan untuk memasukkan kendaraan Pelapor ke dalam tongkang. IG kemudian mengambil alih kemudi mobil Pelapor, sementara IL mengendarai sepeda motor.


Setelah penyeberangan dan tiba di Kecamatan Kalianget, IL meninggalkan lokasi. AG kemudian meminta Pelapor untuk mengantarkannya ke kediaman IL. Sekitar pukul 14.00 WIB, mereka tiba di sebuah rumah yang beralamat di Jalan Dokter Cipto, Desa Kolor, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep. AG kemudian menginstruksikan Pelapor untuk memasuki rumah, dengan alasan adanya teman Pelapor bernama Zahra di dalamnya.


Keadaan semakin memburuk ketika seorang individu bernama Roy Seksi 2 membukakan jendela kamar dan menyuruh Pelapor masuk melalui jalur tersebut. Setelah memasuki rumah, Pelapor mendapati dirinya berada di salah satu kamar. Merasa terancam.


Pelapor segera menghubungi tunangannya, Yasin Tohir Seksi, untuk meminta penjemputan dengan mengirimkan lokasi (sherlock). Upaya Pelapor untuk keluar melalui pintu utama terhalang oleh pernyataan AG bahwa pintu tersebut tidak terkunci.


Selanjutnya, Pelapor diseret oleh AG kembali ke kamar semula dan dipaksa untuk duduk di kasur. Penolakan Pelapor memicu tindakan agresif dari AG yang secara tiba-tiba memeluk Pelapor dari belakang, dengan kedua tangannya mengenai area payudara


Pelapor, seraya mencoba mengangkat Pelapor ke kasur. Pelapor melakukan perlawanan, yang mengakibatkan keduanya terjatuh. Setelah insiden tersebut, Pelapor duduk, dan AG mulai melancarkan rayuan.


Dalam kondisi tersebut, Pelapor secara diam-diam merekam tindakan AG. Namun, AG menyadari perekaman tersebut dan memaksa Pelapor untuk menghapus video. Pelapor menyetujui penghapusan video dengan syarat diizinkan meninggalkan rumah. Setelah video dihapus,


Pelapor berhasil keluar melalui jendela. Saat hendak keluar, AG kembali melakukan tindakan tidak senonoh dengan memegang paha Pelapor. Pelapor berhasil keluar dari rumah dan bertemu dengan Yasin Tohir, menceritakan seluruh kejadian, dan kemudian secara resmi melaporkan insiden tersebut ke Polres Sumenep.


Kemandekan penanganan perkara kekerasan seksual ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi korban dan indikator kegagalan sistemik. Polres Sumenep, sebagai representasi negara dalam penegakan hukum, memiliki obligasi moral dan yuridis untuk menindaklanjuti setiap laporan dengan cermat, cepat, dan profesional. 


Penundaan yang tidak berdasar dalam kasus yang melibatkan kekerasan seksual adalah bentuk dereliksi tugas yang dapat berdampak serius pada pemulihan psikologis korban dan memupuk budaya impunitas.


Publik menuntut transparansi penuh dari Polres Sumenep. Diperlukan penjelasan yang komprehensif mengenai kendala yang dihadapi dalam penyelidikan, serta langkah-langkah konkret yang akan diambil untuk mempercepat proses hukum.


Apabila terbukti adanya kelalaian, intervensi, atau bahkan penyalahgunaan wewenang oleh oknum di internal kepolisian, tindakan disipliner dan hukum yang tegas harus segera diterapkan.


Penanganan kasus kekerasan seksual adalah cerminan integritas institusi penegak hukum. Kegagalan dalam menjamin keadilan bagi korban adalah kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya.


(R. M Hendra)

Iklan

iklan