Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Kehebohan BSPS Sumenep Jerat Hukum di Balik Proyek Rakyat

Rabu, Mei 21, 2025, 10:19 WIB Last Updated 2025-05-21T03:19:36Z


Sumenep, Kompasone.com – Kecerobohan dan disorientasi pemahaman regulasi kembali mencuat dalam pusaran program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kabupaten Sumenep.


Pernyataan kontroversial Camat Raas yang menegaskan ketidakterlibatannya, bahkan menantang pelaporan terkait dugaan kasus BSPS, justru menjadi bumerang yang menyoroti defisit kompetensi dan urgensi penegakan hukum yang lebih substansial.


Ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan indikasi kuat adanya tindak pidana korupsi berjamaah yang terstruktur, sistematis, dan masif.


Ketiadaan Relevansi Camat dalam Mekanisme BSPS Adalah sebuah ironi manakala seorang pemangku jabatan setingkat camat tidak memahami esensi program BSPS.


Rasyid Nahdliyin, aktivis kawakan, dengan tegas mengklarifikasi bahwa dana BSPS bersumber langsung dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Perumahan.


Oleh karenanya, tidak ada urgensi, apalagi kewajiban, bagi Camat untuk terlibat dalam proses pencairan dana, apalagi sampai meminta tanda tangan atau izin resmi.


“Ini adalah domain sektoral yang berada di bawah koordinasi Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Perhubungan (Disperkimhub) Sumenep sebagai leading sector.” 


Pernyataan Camat Raas yang seolah-olah melepaskan diri dari tanggung jawab, justru mempertegas minimnya pemahaman akan mekanisme program dan potensi kerugian negara yang ditimbulkan akibat praktik penyimpangan.


Program BSPS, secara filosofis, bertujuan untuk memastikan bantuan tepat waktu dan tepat sasaran, dengan melibatkan peran kepala desa dalam pendataan penerima manfaat yang layak. Namun, realitas di lapangan justru berbanding terbalik.


Deviasi Penerima Manfaat dan Potongan Ilegal melalui Investigasi mendalam yang dilakukan oleh aktivis dan media kompasone.com jauh sebelum kasus ini heboh, menemukan fakta yang mencengangkan, banyak penerima BSPS adalah masyarakat golongan mampu, bahkan beraset mobil, yang sejatinya tidak layak menerima bantuan sosial.


Fenomena ini diperparah dengan adanya pemotongan anggaran BSPS secara sepihak dari Rp 20 juta menjadi Rp 15 juta. Rinciannya, Rp 2,5 juta dialokasikan untuk upah tukang, dan Rp 12,5 juta untuk pembelian material melalui e-warung atau e-material yang ditunjuk oleh pihak desa dan pendamping BSPS.


Namun, di lapangan, hak penerima manfaat untuk upah tukang sebesar Rp 2,5 juta kerap kali tidak diterima. Lebih jauh lagi, nilai material yang dikirimkan, seperti semen, besi cor, kusen, batu bata, kayu atap, dan pasir hitam, setelah dihitung secara global, ternyata tidak mencapai nominal Rp 10 juta.


Ini mengindikasikan adanya selisih yang signifikan, bahkan mendekati Rp 5 juta per unit, yang diduga menguap ke kantong-kantong pribadi oknum tak bertanggung jawab.


Modus Operandi Korupsi Berjamaah Kepala Desa sebagai Korban dari kerangka rencana dugaan  korupsi?  Praktik kotor ini tidak hanya melibatkan pendamping BSPS dan penyedia material, namun juga menyeret kepala desa ke dalam pusaran tindak pidana korupsi.


Salah seorang kepala desa yang menolak disebutkan namanya, dengan lantang menyatakan penolakannya terhadap tawaran BSPS karena adanya syarat mutlak, penerima BSPS harus menyediakan "uang serep" sebesar Rp 5 juta. Uang ini, menurut pengakuan pendamping dan koordinator, akan digunakan untuk "jatah" kepala desa per unit BSPS senilai Rp 1 juta hingga Rp 2 juta, dan sisanya untuk pendamping serta oknum lain di lapangan.


Modus operandi ini secara terang-terangan menunjukkan adanya pemerasan terselubung terhadap masyarakat miskin yang seharusnya menjadi penerima manfaat. Apabila masyarakat harus mengeluarkan uang tambahan sebesar Rp 5 juta untuk menutupi potongan awal yang juga senilai Rp 5 juta.


Maka secara efektif, bantuan BSPS menjadi tidak tepat sasaran dan justru membebani masyarakat. Kepala desa, dalam konteks ini, menjadi korban sistem yang dibangun oleh oknum-oknum bermental korup. Kasus BSPS ini bukan sekadar insiden sporadis, melainkan manifestasi kejahatan terorganisir yang merugikan keuangan negara dan mencederai rasa keadilan masyarakat. 


Kejaksaan Sumenep dituntut untuk bertindak tegas, melakukan investigasi menyeluruh, dan menyeret semua pihak yang terlibat ke meja hijau, tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang berbobot dan tanpa kompromi adalah kunci untuk mengembalikan integritas program BSPS dan mencegah terulangnya praktik-praktik serupa di masa mendatang.


(R. M Hendra)

Iklan

iklan