Sumenep, Kompasone.com - Aroma keadilan tercium kian pekat di langit Sumenep seiring dengan langkah tegas Polres Sumenep yang hari ini mengajukan gelar perkara terkait kasus dugaan tindak pidana kekerasan terhadap anak yatim di bawah umur. Peristiwa tragis yang terjadi di Desa Batuputih Daya, Kecamatan Batuputih, ini sontak menggugah nurani publik dan memantik sorotan tajam terhadap perlindungan kelompok rentan.
Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Sumenep, Ipda Agus, melalui sambungan telepon menyampaikan konfirmasi krusial terkait perkembangan penanganan kasus ini. "Hari ini saya ajukan gelar terkait kasus kekerasan di bawah umur," ujarnya lugas, menandakan babak baru dalam upaya penegakan hukum.
Dalam perspektif yuridis, pengajuan gelar perkara merupakan tahapan esensial dalam proses penyidikan. Momentum ini akan menjadi titik kulminasi analisis mendalam oleh tim ahli Polres Sumenep terhadap alat bukti dan fakta-fakta yang terhimpun. Konsekuensi logis dari gelar perkara yang kuat dan meyakinkan adalah peningkatan status terlapor, Mas'uda, dari saksi menjadi tersangka.
Ach. Supyadi, S.H., M.H., selaku kuasa hukum korban, dengan nada imperatif menyatakan harapannya agar Polres Sumenep segera melakukan penahanan terhadap terlapor. "Kami berharap Polres Sumenep, Polda Jawa Timur, segera melakukan penahanan kepada tersangka dalam kasus ini," tegasnya, merefleksikan gejolak keadilan yang mendambakan pertanggungjawaban setimpal atas perbuatan keji tersebut.
Tindak kekerasan terhadap anak yatim, yang dalam konstruksi sosial dan teologis memiliki posisi istimewa sebagai "titipan ilahi kesayangan Tuhan," merupakan pelanggaran fundamental terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Perbuatan ini tidak hanya mencederai fisik dan psikis korban, tetapi juga merusak tatanan moral dan etika masyarakat.
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara eksplisit 1 mengkriminalisasi segala bentuk kekerasan terhadap anak. Ancaman pidana yang membayangi pelaku diharapkan menjadi efek jera sekaligus manifestasi komitmen negara dalam melindungi generasi penerus bangsa dari segala bentuk ancaman dan kekerasan.
Gelar perkara yang diajukan hari ini menjadi antitesis bagi impunitas dan preseden buruk. Masyarakat menanti dengan seksama hasil dari proses hukum ini, sebuah penantian akan tegaknya keadilan bagi anak yatim yang tak berdaya dan representasi komitmen negara dalam melindungi setiap warganya, tanpa terkecuali.
Jeruji besi bukan sekadar konsekuensi hukum, melainkan simbol bahwa negara tidak akan mentolerir kekerasan, apalagi terhadap mereka yang paling rentan. Kasus di Batuputih Daya ini menjadi ujian krusial bagi penegakan hukum di Sumenep, di mana keadilan harus tampil sebagai panglima.
(R. M Hendra)