Sumenep, Kompasone.com – Di tengah lanskap politik desa yang seringkali diwarnai intrik dan kepentingan, Kepala Desa Batuputih Daya, Harno, yang selama ini dikenal dengan reputasi arif dan bijaksana, kini harus menghadapi terjangan gelombang isu miring.Media tertentu gencar memberitakan tudingan warganya terkait dugaan ketidaktransparanan pengelolaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD),
Sebuah narasi yang kontras dengan citra keterbukaan yang selama ini ia bangun. Lebih jauh, tuduhan absurd mengenai nihilnya pembangunan infrastruktur selama dua periode kepemimpinannya, seolah ingin meruntuhkan pondasi kepercayaan yang telah lama terjalin. Namun, di balik riuhnya pemberitaan yang terkesan tendensius, muncul suara Harno melalui wawancara eksklusif dengan Kompas One yang mencoba merasionalisasi dan meluruskan distorsi informasi yang beredar.
Dengan nada tenang namun sarat akan keyakinan, Harno membantah mentah-mentah seluruh tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Penegasannya mengenai realisasi berbagai pembangunan sejak awal masa jabatannya, termasuk keterbukaan informasi publik melalui APBDes yang diprioritaskan pemasangannya di dirumahnya yang dibuat balai desa sementara, mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk akuntabilitas.
Narasi pembangunan infrastruktur seperti jalan lingkungan, saluran air, dan fasilitas umum yang dikemukakan Harno, bukanlah sekadar klaim tanpa dasar. Penjelasannya mengenai tahapan pembangunan yang mempertimbangkan skala prioritas dan kemampuan anggaran desa, memberikan konteks yang lebih komprehensif. Logika pengelolaan anggaran yang bertahap dan berbasis prioritas adalah prinsip fundamental dalam administrasi publik, yang seringkali luput dari pemahaman dangkal para pengkritik.
Sorotan tajam tentu tertuju pada belum berdirinya bangunan fisik balai desa. Pengakuan Harno bahwa proyek ini masih dalam tahap perencanaan memang dapat menimbulkan interpretasi beragam. Namun, keputusannya untuk menjadikan rumah pribadinya sebagai pusat pelayanan sementara, justru menunjukkan sebuah respons pragmatis dan komitmen yang kuat untuk tidak menghambat pelayanan publik. Tindakan ini, alih-alih dicurigai, seharusnya diapresiasi sebagai bentuk pengabdian yang melampaui batasan formalitas.
Lebih lanjut, Harno memaparkan alokasi DD dan ADD yang diprioritaskan untuk kebutuhan mendesak masyarakat, terutama saat pandemi COVID-19. Penggunaan anggaran untuk BLT, pemberdayaan masyarakat, dan infrastruktur esensial, mencerminkan kebijakan yang responsif terhadap dinamika sosial dan kebutuhan riil warga. Di tengah keterbatasan anggaran, kemampuan untuk menentukan skala prioritas melalui musyawarah desa yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, adalah bukti tata kelola yang partisipatif dan bertanggung jawab.
Menanggapi keluhan terkait akses jalan ke pondok pesantren, Harno menunjukkan pemahaman dan empati. Pengakuannya atas keterbatasan anggaran dan banyaknya titik infrastruktur lain yang juga memerlukan penanganan, adalah penjelasan yang logis dan dapat diterima. Penegasan bahwa semua proyek infrastruktur diputuskan melalui musyawarah dan kajian teknis dari tahun ke tahun, membantah tudingan adanya pengabaian yang disengaja.
Ajakan Harno kepada warga untuk berpartisipasi aktif dalam perencanaan pembangunan dan keterbukaannya terhadap masukan serta kritik yang membangun, adalah ciri seorang pemimpin yang inklusif dan berorientasi pada kemajuan bersama. Pernyataannya yang ingin memberikan "gambaran utuh dan proporsional" terkait kondisi dan tantangan pembangunan desa, adalah upaya untuk meredam spekulasi dan membangun pemahaman yang lebih mendalam.
Pepatah di penghujung penjelasannya, "ingin memeluk gunung, namun apa daya tangan tak sampai," yang dilontarkan Harno, bukanlah sekadar retorika melankolis. Ungkapan ini adalah refleksi jujur seorang pemimpin yang memiliki visi besar untuk desanya, namun terbentur pada realitas keterbatasan sumber daya dan kompleksitas permasalahan. Sebuah pengakuan yang justru mengundang simpati dan pemahaman, alih-alih hujatan.
Gerimis badai yang menimpa Harno di Batuputih Daya ini, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa kebenaran tidak selalu tunggal dan seringkali tersembunyi di balik narasi yang dibangun secara sepihak. Kecerdasan intelektual menuntut kita untuk tidak mudah terprovokasi oleh isu yang belum terverifikasi, dan untuk selalu mencari kebenaran yang lebih komprehensif.
Sebelum menjatuhkan vonis, mari kita telaah lebih dalam, mendengarkan berbagai perspektif, dan memberikan kesempatan bagi keadilan untuk ditegakkan. Jangan sampai, seorang pemimpin yang berdedikasi dan berintegritas, justru menjadi korban dari gelombang prasangka dan politisasi isu yang tidak berdasar.
(R. M Hendra)