Kegaduhan yang terjadi baru-baru ini di Kabupaten Ketapang antara oknum jurnalis dan seorang pejabat publik setingkat Kabid, menjadi lonceng peringatan keras bagi kemerdekaan pers di daerah. Peristiwa ini bukan sekadar drama saling lapor, melainkan cermin retaknya pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Hal ini memberikan penilaian mendalam terkait dua kesalahan fatal yang terjadi dalam polemik ini, yang jika dibiarkan, akan menjadi "kuburan" bagi jurnalisme investigasi.
1. Runtuhnya Marwah Profesi Lewat "Pintu Belakang"
Poin pertama yang menjadi sorotan adalah aksi oknum jurnalis yang mendatangi kantor dinas untuk meminta maaf secara personal. Seperti yang dikritisi keras oleh Ketua PWK, Verry Liem, tindakan ini adalah sebuah "bunuh diri profesi".
Dalam dunia jurnalistik, berita adalah produk institusi (Redaksi), bukan produk perorangan. Jika terjadi kesalahan data atau ketidakakuratan, mekanisme koreksinya sudah diatur secara bermartabat melalui Hak Jawab dan Hak Koreksi yang dimuat secara terbuka.
Meminta maaf secara diam-diam atau personal kepada pejabat menyiratkan dua hal berbahaya:
Pengakuan Bersalah Tanpa Uji Fakta: Jurnalis tersebut seolah mengakui beritanya salah tanpa melalui penilaian Dewan Pers.
Pelecehan Institusi: Ia mereduksi peran redaksi menjadi urusan pribadi antara "penulis" dan "objek berita". Ini membuka peluang bagi pejabat untuk menganggap pers bisa "ditekan" atau "dibuat takut".
2. Salah Kaprah Penyelesaian Sengketa: Pidana vs Etika
Poin kedua adalah respons dari pihak Pejabat Publik yang dikabarkan tetap membawa persoalan pemberitaan ke ranah pidana (Kepolisian) dengan dalih pencemaran nama baik.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk ketidakpahaman—atau mungkin kesengajaan untuk mengabaikan—sifat Lex Specialis dari UU Pers. Sengketa akibat karya jurnalistik harus diselesaikan di Dewan Pers. Menarik kasus berita ke ranah pidana umum adalah bentuk nyata dari upaya kriminalisasi pers.
Jika setiap pejabat yang merasa gerah dengan berita kritik langsung lapor polisi alih-alih memberikan Hak Jawab, maka fungsi pers sebagai Social Control (kontrol sosial) akan mati. Jurnalis akan bekerja di bawah bayang-bayang penjara, bukan di bawah panduan kebenaran.
Kesimpulan: Kembali ke Rel Konstitusi
Kasus di Ketapang ini harus menjadi pelajaran mahal.
Bagi Jurnalis: Jangan pernah gadaikan independensi dengan ketakutan. Kesalahan berita diperbaiki dengan berita (koreksi), bukan dengan memohon ampun di ruang tertutup pejabat.
Bagi Pejabat Publik: Gunakanlah hak jawab yang disediakan undang-undang. Kritik adalah vitamin demokrasi, bukan serangan yang harus dibalas dengan borgol.
Langkah organisasi pers (PWK) untuk meluruskan mekanisme wajib didukung penuh. Demi menjaga marwah pilar keempat demokrasi agar tidak runtuh oleh intimidasi maupun oleh ketidakprofesionalan jurnalisnya sendiri.
Penulis : Budi Rahman
