Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Peringatan Keras Untuk Muspida Kuningan, Bencana Dipicu Komplikasi Kerusakan Alam

Senin, Desember 29, 2025, 12:35 WIB Last Updated 2025-12-29T05:36:52Z
Uha Juhana, Ketua LSM FRONRAL 

Sebagian Sumatera terhantam banjir bandang akibat pemberian izin pembukaan hutan serampangan. Setiap kali bencana datang pemerintah seperti baru terbangun dari tidur. Para pejabat tergagap-gagap mencari pihak yang bisa menyelamatkan muka atau menjadi kambing hitam. Kini, setelah air bah merenggut ribuan nyawa di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025, pemerintah baru mencari perusahaan yang menjadi biang keladinya.


Pemidanaan terhadap korporasi yang merusak alam dan lingkungan memang sudah semestinya dilakukan. Tapi tindakan itu terlambat. Pemerintah seharusnya bisa mencegah jatuhnya korban jika saja mau menerapkan kebijakan pengelolaan hutan dengan benar. Tak perlu menunggu ribuan orang kehilangan nyawa. Hingga Selasa malam, 16 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 1.050 orang meninggal.


Bangun Tidur Setelah Bencana

Setelah banjir meluluhlantakkan Desa Garoga, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dua pekan kemudian, Kementerian Lingkungan Hidup menyegel perkebunan kelapa sawit PT Tri Bahtera Srikandi. Perkebunan ini berada di Tapanuli Tengah. Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI juga menyelidikinya dengan tuduhan sama. Perusahaan milik pengusaha lokal ini diduga membabat hutan hingga potongan-potongan kayunya menghantam rumah warga desa. Kementerian Kehutanan pun menyegel tiga perusahaan perkebunan di Tapanuli Selatan, juga dengan tuduhan memperparah dampak banjir bandang. Pada saat bersamaan, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) bergerak. Hasilnya, mereka menyimpulkan 31 perusahaan dan pengusaha memicu banjir. 


Kewajiban pemerintah mengelola hutan secara lestari tak pernah dijalankan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat hilang dengan cepat selama 2016-2025. Sebanyak 1,4 juta hektare kawasan hutan berubah menjadi perkebunan sawit, tambang, dan pemanfaatan usaha lain. Kawasan hutan Sumatera paling banyak berubah menjadi kebun sawit. Luas kebun sawit di Sumatera mencapai 10,7 juta hektare, membuat hutan Sumatera tinggal 6,7 juta hektare, melampaui batas aman daya dukung pulau Sumatera. Dengan sistem monokultur dan jenis tanaman seragam, perkebunan kelapa sawit tak sanggup menahan tanah ketika hujan turun secara ekstrem.


Salah Kaprah Kebijakan Memperparah Kerusakan

Para penguasa negeri ini terlalu mudah menyimpulkan bencana alam yang melanda Tanah Air semata-mata disebabkan oleh ekstremitas fenomena alam. Bencana di Sumatera, misalnya, dipersempit penjelasannya sebagai dampak siklon tropis Senyar belaka. Cara pandang ini berbahaya karena menutup mata dari akar persoalan yang sesungguhnya. Siklon tropis Senyar sendiri merupakan anomali iklim. Badai tropis semacam ini hanya mungkin muncul ketika suhu permukaan laut di Selat Malaka meningkat signifikan. Pemanasan serupa terjadi di Samudra Hindia, dari wilayah barat Sumatera hingga perairan selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Laut yang memanas bukan peristiwa kebetulan. Ia merupakan gejala krisis iklim yang nyata.


Biang keroknya, sebagian besar, adalah ulah manusia. Pemakaian bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, dan industri menghasilkan gas rumah kaca yang memerangkap panas di atmosfer. Lebih dari 90 persen panas itu diserap oleh lautan menjadikannya penyangga terakhir agar daratan tidak menderita lebih parah. Konsekuensinya suhu laut meningkat, gletser mencair, muka air laut naik, dan cuaca ekstrem kian sering terjadi. Bagi Indonesia, yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan, bahaya rob atau pasang naik air sudah di depan mata. Di Jakarta Utara, misalnya, rob setinggi 40 centimeter awal bulan ini merambah hingga Jalan R.E. Martadinata, tepat di depan Jakarta International Stadium. Di Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, rob mencapai 1,5 meter dan melampaui sisi selatan jalan pantai utara Jawa.


Bencana yang dipicu krisis iklim tak mungkin sepenuhnya dicegah. Belum tampak pula perubahan paradigma yang jelas, dari membangun dengan melawan alam menuju hidup bersama alam yang terus berubah. Para pembuat kebijakan seharusnya menyadari bahwa adaptasi palsu yang mengabaikan logika alam hanya memindahkan risiko bencana, bukan menguranginya. Salah satu cara hidup bersahabat dengan krisis iklim adalah menghentikan kebijakan yang justru memperparah kerusakan alam karena bencana akibat krisis iklim tak bisa sepenuhnya dicegah. 


Bencana Dipicu Komplikasi Kerusakan Alam

Bencana banjir bandang yang menggulung Sumatera dan banjir rob yang merendam pesisir Pulau Jawa tidak datang ujug-ujug. Akumulasi gas rumah kaca memerangkap suhu panas di bumi. Akibatnya, beragam anomali iklim menerjang wilayah tropis dan memicu peningkatan intensitas hujan ekstrem. Kerusakan daya dukung lingkungan memperparah keadaan. Efek gas rumah kaca yang terbentuk dalam jangka panjang sebagai akibat pembabatan hutan dan hilangnya area penangkapan karbon dioksida, seperti pohon ditebang tanpa aturan. Perubahan yang sangat kecil dalam suatu sistem yang kompleks bisa mengakibatkan dampak besar di kemudian hari. Pohon ibarat paku yang memiliki akar-akar untuk mencengkeram tanah dan menangkap air limpasan serta daun yang mengubah karbon dioksida menjadi oksigen. Hilangnya pohon berbuntut panjang pada kerusakan ekosistem.


Pohon juga mengikat tanah dan batuan. Hutan asli mencengkeram tanah dan batuan dengan akar-akarnya. Kalau pohon ditebang sembarangan maka erosi akan meningkat. Tanah longsor bertambah karena yang berfungsi menahan seperti paku itu hilang. Daya resap air juga hilang. Kondisi ini juga mengganggu siklus hidrologi. Hutan yang ditebang membuat jumlah CO2 meningkat, suhu pun naik. Naiknya suhu membuat siklus hidrologi terpacu lebih cepat. Pembentukan awan hujan juga terpacu. Lalu air hujan tidak bisa langsung meresap tapi menjadi air limpasan. Jadilah banjir dan lalu tanah longsor menjadi bencana nasional di Sumatera. 


Banjir Cirebon Tak Biasa Diduga Air Kiriman dari Kuningan

Banjir besar melanda wilayah Kabupaten dan Kota Cirebon, Jawa Barat, pada Selasa (23/12/2025) petang hingga malam, setelah hujan deras dengan intensitas tinggi mengguyur kawasan tersebut. Luapan sejumlah sungai menyebabkan genangan luas yang merendam pusat perbelanjaan, kawasan perkantoran Pemerintah Kabupaten Cirebon, hingga permukiman warga. Peristiwa ini menjadi sorotan publik setelah berbagai video kondisi banjir beredar luas di media sosial viral memperlihatkan kondisi gudang penyimpanan barang milik sebuah supermarket besar yang terendam banjir parah. Air masuk hingga lebih dari satu meter dan menghanyutkan sebagian besar barang dagangan yang baru saja dibongkar. 


Keluhan banyak disampaikan oleh masyarakat Cirebon yang menilai banjir dengan intensitas sebesar ini baru pertama kali terjadi di wilayahnya. Menurut mereka biasanya tidak banjir sekarang banjir dengan aliran air deras sangat besar datang secara tiba-tiba dan volumenya tidak wajar dibandingkan hujan yang turun. Datangnya mendadak, langsung tinggi dan baru kejadian seperti itu melanda Cirebon sehingga warga menduga air itu kiriman dari Kabupaten Kuningan.


Banjir yang menimpa sebagian wilayah Cirebon diasosiasikan sebagai limpahan dari Gunung Ciremai yang berada di hilir / bawah gunung yang menjadi tanggung jawab dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC). Itu bisa dipahami mengingat saat ini kawasan hulu sedang mengalami penurunan fungsi dan banjir yang menghantam wilayah utara Kuningan hingga Cirebon bisa terjadi karena faktanya eksploitasi air terus berlangsung, daerah resapan menyusut dan buffer zone dipenuhi oleh bangunan.


Untuk itu kami mengingatkan dengan keras kepada Muspida Kuningan jangan sampai di kemudian hari terjadi bencana alam berupa banjir bandang dan longsor yang sampai merenggut korban jiwa akibat kelalaian yang disengaja dalam pengelolaan kawasan daerah konservasi.

Penulis:

Uha Juhana

Ketua LSM FRONRAL



Kuningan, 28 Desember 2025




Uha Juhana

Ketua LSM Frontal

Iklan

iklan