Sumenep, Kompasone.com - Sebuah gelombang mosi tidak percaya berskala besar diprediksi akan menghentakkan presidium hukum di Kabupaten Sumenep. Sedikitnya dua ribu massa yang merepresentasikan koalisi lintas sektoral mulai dari intelektual muda, aktivis kemanusiaan, hingga elemen organisasi masyarakat dijadwalkan mengepung Markas Kepolisian Resor (Polres) Sumenep pada Senin, 29 Desember 2025.
Aksi yang diinisiasi sebagai respons atas keganjilan yuridis ini mengusung tajuk yang sarat akan kecaman: “Aksi Darurat! Polres Sumenep Lindungi Predator Perempuan dan Anak. Korban Dihukum, Pelaku Dilindungi.”
Koordinator Masyarakat Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Sumenep, Andika Pratama, menegaskan bahwa eskalasi massa ini merupakan kulminasi dari kekecewaan mendalam terhadap nalar hukum yang dipraktikkan oleh aparat penegak hukum setempat.
Pihaknya mengidentifikasi adanya upaya sistematis yang mengarah pada kriminalisasi korban melalui mekanisme laporan tandingan (counter-report). "Kami berdiri di atas fakta bahwa terdapat luka psikis dan fisik korban yang belum terakomodasi secara adil.
Namun, secara Inkonsistensi Prosedural, institusi justru mengakomodasi proses hukum baru yang kami sinyalir sebagai upaya 'pemutihan' dosa pelaku," ujar Andika dalam pernyataan resminya, Jumat (26/12).
Analisis kritis yang dilakukan koalisi menyoroti dugaan fabrikasi laporan penganiayaan yang diajukan oleh pihak terduga pelaku. Andika mempertanyakan orisinalitas laporan tersebut, mengingat pada fase awal penangkapan dan pemeriksaan, tidak ditemukan bukti empiris maupun dokumentasi medis yang memvalidasi adanya tindak kekerasan terhadap tersangka.
Aliansi yang terdiri dari BEM se-Kabupaten Sumenep, GMNI, IMM, PMII, hingga organ taktis seperti Women Centre dan keluarga besar Nahdliyin ini, memandang bahwa sikap permisif kepolisian terhadap laporan tandingan akan menciptakan preseden buruk. Hal ini dinilai mereduksi marwah hukum dan memberikan celah impunitas bagi para predator seksual.
Dalam pernyataan sikapnya, massa aksi membawa tuntutan yang bersifat fundamental, yaiitu
1- Mengusut tuntas oknum internal kepolisian yang meloloskan laporan bermasalah.
2-Memproses hukum pelapor atas dugaan laporan rekayasa (malicious prosecution).
3-Penghentian segera (SP3) atas perkara yang lahir dari proses kriminalisasi.
4-Menjamin penghapusan praktik hukum yang bersifat transaksional di seluruh jajaran kepolisian.
Andika memperingatkan bahwa pembiaran terhadap praktik hukum yang "cacat logika" ini setara dengan melegitimasi kejahatan terhadap kemanusiaan. "Jika institusi tetap memelihara anomali ini, maka negara secara tidak langsung sedang memberikan suaka moral bagi para predator perempuan dan anak," tegasnya dengan nada lugas.
Hingga laporan ini disusun, pihak Polres Sumenep masih memilih untuk menjaga keheningan administratif dan belum memberikan klarifikasi resmi terkait tudingan serius yang dialamatkan oleh koalisi masyarakat sipil tersebut.
Publik kini menanti, apakah hukum akan tegak sebagai pedang keadilan atau justru melunak di bawah bayang-bayang rekayasa.
(R. M Hendra)

